Selasa, 08 November 2011

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Bentuk hubungan dagang bisa berupa jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan kontrak, dan lain-lain.  Semua transaksi tersebut berpotensi melahirkan sengketa.
Sengketa-sengketa dagang umumnya diselesaikan melalui negosiasi,  jika tidak berhasil, ditempuh melalui pengadilan atau arbitrase. Penyerahan sengketa, kepada pengadilan atau arbitrase, biasanya didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak, dengan klausul penyelesaian sengketa dalam perjanjian yang mereka buat.  Sebagai dasar hukum bagi badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa para pihak,  yang dicantumkan, baik pada waktu  kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul.
Kelalaian menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketa, karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi alasan yang kuat  bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa.
Dalam sistem hukum Common Law dikenal konsep long arm jurisdiction,   artinya pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali.  Misalnya, badan peradilan di Amerika Serikat dan Inggris selalu menerima sengketa yang diserahkan  para pihak ke hadapannya meskipun hubungan atau keterkaitan sengketa dengan badan peradilan sangatlah kecil.  Misalnya, pihak termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau dalam kontrak tersebut secara tegas atau diam-diam mengaku kepada salah satu Negara Bagian Amerika atau hukum Inggris.

Rabu, 02 November 2011

60 (5) c Unsur-Unsur NO. 5/97

Menimbang: Bahwa oleh karena Dakwaan Oditur disusun secara Kumulatif, Majelis Hakim terlebih dahulu akan membuktikan Dakwaan Kesatu yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
  • Unsur Kesatu: “Barangsiapa”
  • UnsurKedua: “Menerima penyerahan psikotropika”
  • UnsurKetiga: “Selain yang ditetapkandalam pasal 14 ayat (3) dan ayat (4)”
Menimbang: Bahwa mengenai Unsur Kesatu “Barangsiapa”
Yang dimaksud dengan barang siapamenurut UU adalah setiap orang yang tunduk pada perundang-undangan RI (dalamhal ini pasal 2,5,7 dan 8 KUHP) termasuk juga diri si Pelaku/Terdakwa.

Menimbang: Bahwaberdasarkan keterangan para saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa diperkuatdengan alat-alat bukti lain yang diajukan oleh Oditur dalam persidangan yangsatu dengan lainnya saling bersesuaian terungkap fakta hukum sebagai berikut:

Selasa, 01 November 2011

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Kejahatan tidak pernah memandang umur, jenis kelamin, suku dan agama. Dengan berbagaimacam tipu daya para pelakunya berusahamemperdayai korbanya, dengan iming-iming yang menggiurkan sehingga para korban seperti terhipnotis untukmengikuti keinginan rencana jahat para pelaku, yang mana para pelakuteroganisir sera rapih, disamping itu untuk memudahkan merekrut mangsanyasebagai wadahnya adalah berbadan hukum (PT, CV, yayasan dan lain-lain) baikbadan hukum legal maupun ilegal.

Fenomenaperdagangan orang di Indonesia sejak krisis yang lalu, kini disinyalir semakinmeningkat. Tidak saja terbatas untuk tujuan prostitusi atau eksploitasi seksualorang, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi lain, seperti kerja paksa dan praktik menyerupai perbudakandibeberapa wilayah sektor informal, termasuk kerja domistik dan mempelaipesanan. Perdagangan orang merupakan tindakan kejahatan yang sangat merendahkanmartabat orang dan merupakan bentuk perbudakan orang dijaman modern. Olehkarena itu perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius.

Untukmendapatkan barang “dagangannya” yang akan di jual tersebut. Orang melakukancara-cara : penipuan, ancaman,paksaan atau kekerasan, yang tentunya melanggarhak-hak asasi manusia Sebagaimana dinyatakan dalam Protokol PBB untukmencegah,memberantas, dan menghukum perdagangan manusia khususnya perempuan dananak, pelengkap Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisir Antar Negara yangditandatangani lebih dari 80 negara termasuk Indonesia pada bulan Desember 2000, bahwa Traffiking in persons adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan,penampungan atau penerimaan Seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan ataubentuk-bentuk paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan,penipuan, penyalahgunaankekuasaan atau posisi rentan ataupun memberi atau menerima bayaran atau manfaatsehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali dari orangyang memegang kendali dari orang lain. Untuk tujuan eksploitasi, Eksploitasisetidaknya meliputi Eksploitasi lewat memprostitusikan orang lain atau bentuk –bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau praktek-praktek lain yang serupadengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.

Senin, 31 Oktober 2011

60 (1) c UU NO. 5/97

Menimbang  :    Bahwa dakwaan Oditur Militer mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
                         Unsur Kesatu         :     Memproduksi atau mengedarkan
                         Unsur Kedua          :     psikotropika yang berupa obat
                         Unsur Ketiga          :     tidak terdaftar pada Departemen yang 
                                                              bertanggung-jawab di bidang kesehatan

Bahwa mengenai Unsur “Memproduksi atau mengedarkan
                                     
Bahwa menurut UU Psikotropika No. 5 Tahun 1997 “produksi” adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas dan atau mengubah bentuk psikotropika. Sedangkan “peredaran” berarti setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindah tanganan.
                 
Menimbang: Bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa diperkuat dengan alat-alat bukti lain yang diajukan oleh Oditur dalam persidangan yang satu dengan lainnya saling bersesuaian terungkap fakta-fakta sebagai berikut :

Jumat, 28 Oktober 2011

59 (1) HURUF a UU NO. 5/97

 Menimbang:  Bahwa dakwaan Oditur Militer mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 
 Unsur Kesatu    :  “Barang siapa” 
 Unsur Kedua     :  “Menggunakan Psikotropika Golongan I selain dimakusd dalam pasal 4 ayat (2)” 
Menimbang     :  Bahwa mengenai Unsur “Barang siapa”         
                                 Menurut UU adalah setiap orang yang tunduk kepada perundang-undangan RI(dalam hal ini pasal 2-5,7 dan 8 KUHP) termasuk juga diri Terdakwa sebagai anggota TNI. 

Menimbang     :      Bahwa mengenai Unsur “Barang siapa         
                                 Menurut UU adalah setiap orang yang tunduk kepada perundang-undangan RI(dalam hal ini pasal 2-5,7 dan 8 KUHP) termasuk juga diri Terdakwa sebagai anggota TNI. 
Menimbang    :      Bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa diperkuat dengan alat-alat bukti lain yang diajukan oleh Oditur dalam persidangan yang satu dengan lainnya saling bersesuaian terungkap fakta-fakta sebagai berikut :


                 -    Bahwa benar Terdakwa masuk menjadi anggota ABRI/TNI pada tahun      melalui pendidikan                    di
                                      Setelah lulus dilantik dengan pangkat                Nrp.            Selanjutnya ditugaskan di  
                 -    Bahwa benar Terdakwa sejak tahun         tidak pernah mengakhiri atau diakhiri ikatan dinasnya yang dapat merobah status sebagai anggota ABRI/TNI. 
Menimbang     :      Berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat Unsur Kesatu “barang siapa” telah terpenuhi. 
Menimbang     :      Bahwa mengenai Unsur “Menggunakan Psikotropika Golongan I selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) 
-       Menurut UU No. 5 Tahun 1997 psikotropika dalam hal ini yang berupa obat (selain berupa zat) baik alamiah maupun sintetis pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. 
-       Psikotropika yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepetingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan. 
Menimbang    :      Bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa diperkuat dengan alat-alat bukti lain yang diajukan oleh Oditur dalam persidangan yang satu dengan lainnya saling bersesuaian terungkap fakta-fakta sebagai berikut : 

Menimbang     :      Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat Unsur Kedua “Menggunakan Psikotropika Golongan I selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2)” telah terpenuhi.

             
Menimbang    :       Bahwa oleh karena semua unsur-unsur Dakwaan Oditur Militer telah terpenuhi, Majelis Hakim berpendapat Dakwaan Oditur Militer telah terbukti secara sah dan meyakinkan.

Menimbang     :      Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas merupakan fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan. Majelis Hakim berpendapat bahwa terdapat cukup bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana :

                          “Barang siapa menggunakan Psikotropika Golongan I selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2)”.

                Sebagaimana diatur dan diancam dengan pasal 60 ayat (5) UU No. 5 Tahun 1997.

ANALISIS MASALAH TERHADAP PEMBAHARUAN PIDANA EKONOMI DI INDONESIAHUKUM


A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejahatan Ekonomi
 1.Faktor Eksternal     
      Kemajuan Ilmu pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang dicapai dewasa ini, khususnya di bidang komunikasi dan transportasi, menjadikan dunia terasa semakin kecil jika dilihat dari segi hubungan Internasional. Arus Informasi berjalan dengan cepat, sehingga kondisi dab situasi di sesuatu belahan bumi seketika diketahui oleh masyarakat yang berada di belahan bumi yang berbeda.
 B.  Fakktor Internal
     Analisa mengenai faktor internal yang mempengaruhi terjadinya kejahatan ekonomi di Indonesia akan dimulai dengan politik perekonomian Indonesia akan di mulai dengan politik perekonomian Indonesia dan di akhiri dengan pengaruh keberadaan hukum positif terhadap kejahatan ekonomi itu sendiri. 
            Semenjak Republik Indonesia berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 di sadari bahwa masalah pokok yang di hadapi adalah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka ragam budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang kepemimpinannya cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta ”nation building” ,dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator, baik diktator perorangan, partai, atau militer
                Secara konstitusionil, Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 membagi daerah perekonomian Indonesia menjadi tiga bagian, yaitu daerah korperasi, daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah, dan daerah yang dilaksanakan oleh pihak swasta. 

B. Kebijakan Yang Komprehensif dan Integral Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Ekonomi. 
      Kejahatan adalah salah satu bentuk peerilaku menyimpan dalam, masyarakat. Perilaku ini dapat mengganggu sistem sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dalam menghadapi permasalahan kejahatan ini tidak bisa dilepaskan dari kontenks penataan sistem sosial dalam masyarakat.
       Sistem sosial dalam masyarakat menagandung dua aspek, yaitu aspek ”Social Welfare/prosperity” (kesejahteraan sosial) dan aspek ”Social defence/security” (perlindungan sosial)
      Dalam mengahadapi permasalahan sosial, negara sebagai suatu organisasi mempunyai kebijaksanaan (policy) secara umum, kebijaksanaan ini kemudian di jabarkan dalam kebijakan-kebijakan. Jadi kebijaksanaan merupakan gabungan dari beberapa konsep kebijakan yang mempunyai aspek strategis. 
      Untuk menghadapi permasalahan timbulnya kejahatan ekonomi yang dimulai dari situasi awal (faktor korelatif kriminogen) sampai kepada terjadinya peristiwa tinedak pidana, dibutuhkan suatu konsep yang komprehensif dan sistem pelaksanaan penegakan hukumnya yang bersifat intergal (terpadu)

Kebijakan Yang Komprehensif Dalam Pencegahan Penanggulangan Kejahatan Ekonomi

      Kebijakan komprehensif yang dimaksud dalam uraian ini adalah kebijakan yang menyeluruh. Dalam kamus bahasa Indonesia, Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan yang koprehensif adalah suatu kebijakan secara luas dan lengkap terhadap ruang lingkup permasalahan terjadinya tindak pidana ekonomi. Dalam kebijakan ini seperti telah di gambarkan sebelumnya, meliputi kegiatan-kegiatan :
a.       Preemtif.
b.      Preventif.
c.       Represif atau kuratif.
a.   Preemtif.
            Tindakan preemtive adalah tindakan atau kegiatan yang bersifat ”proaktif” dan merupakan kegiatan awal dari tidakan antisipatif dengan menjadikan masyarakat sebagai sasaran. Menurut Muladi, pencegahan primer (primary prevention), pencegahan model ini melalui langkah-langkah sosial, ekonomi, kebijakan publik lain yang secara khusus berusaha untuk mempengaruhi faktor-faktor kriminogen dan akar-akar penyimpangan perbuatan, dalam sasaran luas.Sedangkan Srijadi,17 mengemukakan pre-emtif sebagai pengosongan dan eliminasi terhadap akar-akar sosial patologis sebagai akibat adanya ketidakserasian dalam berbagai sektor kehidupan dan sektor agar berkembang lebih jauh. 
b. Preventif.
            Yang di maksud dengan tindakan preventif adalah mencegah terjadinya suatu kejahatn dengan meniadakan faktor-faktor kriminogen dalam masyarakat berupa timbulnya kesempatan untuk melakukan kejahatan ekonomi. Pedoman adalah lebih baik mencegah daripada menghukum atau mengobati. 
            Upaya prevetif ini dilakukan karena adanya faktor kriminogen atau security hazard. Untuk itu, digunakan dua cara untuk menghadapinya : 
1.      Rekayasa Hukum Pidana Ekonomi.
            Untuk menjelaskan mengenai rekayasa hukum pidana ekonomi ini, bagan penegakan hukum yang telah di kemukakan terdahulu dapat dijadikan sebagai dasar bagi penjelasannya.
2.   Rekayasa Ekonomi
            Rekayasa ekonomi adalah suatu proses penerapan kaidah-kaidah Ilmu Ekonomi mulai dari perencanaan, peng organisasian, dan pelaksaan organ-organ ekonomi secara efektif dan efisien.
Kesimpulan 
1.   Umum
            Kemajuan teknologi sebagai hasil pemikiran manusia pada dasar telah memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya, Namun demikian, kenikmatan yang dapat diperoleh dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut pada analisis akhir justru turut mempengaruhi perkembangan kejahatan, khususnya di bidang kejahatan ekonomi. 
            Jika dilihat dari sudut pengaruh perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terhadap terjadinya kejahatan ekonomi di permukaan ini, dewas ini terdapat bentuk-bentuk kejahatan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
  1. Kejahatan ekonomi yang bersifat ekonomi yang bersifat konvensional biasa.
  2. Kejahatan ekonomi yang konvensional dengan modus yang baru; dan
  3. Kejahatan ekonomi yang berdimensi baru.
            Kejahatan ekonomi merupakan suatu perbuatan yang diancam atau dilarang oleh hukum , mengenai hal-hal yang berkaiatan dengan masalah ekonomi seperti dalam bidang produksi, distribusi, keuangan, perindustrian, perdagangan, pemanfaatan uang,  tenaga, waktu, dan sebagainya yang ecara ekoomis sangat berharga, dan terhadap tata kehidupan perekonomian suatu negara serta berkaiatan dengan urusan keuangan rumah tangga organisasi atau negara. 
            Setelah masalah kejahatan ekonomi ini dipopulerkan oleh Edwin Sutherland sebagai ”white collar crime”, maka pada saat sekarang telah muncul beberapa bentuk yang berkaitan dengan kejahatan ”kerah putih” ini, yaitu anatara lain: kejahatan korporasi (corporate crime), kejahatan yang terorgsnisasir (organized crime), kejahatan bisnis (crime as bisnis), kejahatan pemutihan uang (moneny loundering crime), danb lain sebagainya. 
            Bagi Indonesia, masalah kejahatan ekonomi telah mendapat penganturan, baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Namun demikian, penaturannya hingga saat sekarang dirasa masih sangat terbatas.Hingga saat ini ketentuan mengenai kejahatan ekonomi ini masih merujuk pada ketentuan mengenai kejahatan ekonomi ini msaih merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam undang-undang No. 7 Darurat Tahun 1955, yang didalamnya memberikan arah tentang ketentuan-ketentuan yang dapat dianggap sebagai hukum pidana ekonomi, yaitu :
a.   Undang-undang yang tunduk dan menundukkan diri kedalam undang-undang No. 7 Darurat Tahun 1955 seperti tyang dimaksud Pasal 1 Sub 3e.
b.   Undang-undang khusus.
c.   Tindak pidana yang melangggar KUHP yang memenuhi kriteria sebagai delik ekonomi.
d. Undang-undang lain yang mempunyai aspek ekonomi, yang didalamnya memuat ketentaun pidana.

2. Dilihat Secara khusus           
            Hukum ekonomi di Indonesia saat ini berkembang tanpa suatu konsepsi, Undang-undang No. 7 Darurat Tahun 1955 sebagai undang-undang yang bersifat poko (merupakan konsepsi yang dapat mengakomodasikan hukum pidana ekonomi) tidak dapat berperan secara efektif dan efisien, hal ini disebabkan undang-undang yang mengatur atau yang berkenan dengan tindak pidana di bidang ekonomi setelah undang-undang No.7 Darurat 1955 ini diundangkan sampai saat sekarang tidak diintegritaskan kedalam Undang-undang No. 7 Darurat Tahun 1955.
            Kejahatan ekonomi di Indonesia berkembang sesuai dengan perkembangan kejahatan ekonomi di dunia atau di negara-negara lainnya, Fenomena mengenai kejahatan pencucian uang hasil kejahatan (money loundering), organized crime juga telah terjadi di Indonesia. Namun hingga saat sekarang belum yang secara khusus mengaturnya. Di samping itu, kejahatan ekonomi yang berhubungan dengan perkembangan institusi ekonomi,teknologi,dan ilmu pengetahuan juga telah muncul. 
            Praktek penyidikan di Indonesia menurut ketentuan yang terkandung di dalam KUHAP, POLRI merupakan penyidik utama, PPNs merupakan penyidik dibidangnya masing-masing, sedangkan Kejaksaan Agung merupakan penyidik pada tindak pidana khusus yang masih bersifat sementara, dan penyidik TNI Angkatan Laut merupakan pengecualia atau belum/ tidak diatur didalam KUHAP. Adanya pembagian tugas penyidikan ini, yang kadang bersifat penyidik tunggal pada undang-undang tertentu mengakibatkan penyidikan kurang  efisien. 
            Hukum pidana ekonomi yang perlu di kembangkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana ekonomi adalah; revisi terhadap Undang-undang No. 7 Darurat Tahun 1955 dalam bentuk peninjauan kembali terhadap undang-undang yang secara limitatif tunduk (disebut) di dalam Undang-undang No. 7 Darurat Tahun 1955, dan mengintergrasikan undang-undang lain yang mempunyai aspek ekonomi dalam bentuk kompilasi, serta menata kembali pengaturan tentang pengusutan penuntutan, dan peradilan yang berkaitan dengan tindak pidana ekonomi dalam suatu pengaturan tenmtang pengusutan penuntutan, dan peradilan yang berkaitan dengan tindak pidana ekonomi dalam suatu pengaturan yang baru yang bersifat pokok (dalam bentul undang-undang tindak pidana ekonomi). 

B.Saran
            Untuk mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidana ekonomi, perlu suatu institusi khusus yang merumuskan kebijaksanaan hukum pidana ekonomi dari sudut kepentingan hukum dan kepentingan ekonomi, yang bertugsa merumuskan subtansi, mekanisme, dan evaluasi terhadap hukum pidana ekonomi di Indonesia. Institusi ini hanyalah bersifat sebagai ”kelompok pemikir”’ dimana mengenai lembaganya dapat berbentuk lembaga baru ataupun pengefektifan lembaga lama dengan fungsi yang baru.

Kamis, 27 Oktober 2011

RAHASIA BANK BESERTA IMPLIKASINYA DILIHAT DARI HUKUM PIDANA


Dalam era globalisasi saat ini, dimana terjadi peningkatan kegiatan yang mencakup aspek kehidupan social, ekonomi, budaya dan teknologi, kegiatan perbankan memegang peranan penting dalam menunjang pembangunan terutama kemampuannya untuk menggali sumber-sumber dana dari dalam dan luar negeri sehingga mampu untuk menjadi salah satu katalisator penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

Oleh karena itu kelancaran dan keamanan kegiatan perbankan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari semua aparat penegak hukum. Namun tindak pidana yang terjadi di beberapa bank di Indonesia cukup memprihatikan oleh karena kerugian Negara (masyarakat) yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut sangat besar, oleh sebab itu segala usaha preventip maupun represip harus digalakan untuk menanggulangi kejahatan perbankan.

Dari pihak pengadilan diharapkan agar peradilan dapat diselenggarakan dengan cepat dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat segera dipulihkan atau sekurang-kurangnya dapat diperkecil. Namun untuk dapat melaksanakan tugas peradilan yang cepat dan tepat tersebut diperlukan penguasaan pelbagai disiplin ilmu khususnya yang berkaitan dengan perkara-perkara yang dihadapinya.

Walaupun seorang hakim dapat saja memanggil saksi ahli dalam bidang tertentu, namun apabila ia sendiri telah dibekali dengan pengetahuan tersebut maka ia akan banyak membantu hakim melaksanakan tugasnya. Terlebih lagi kalau diingat bahwa tidak disemua pengadilan tersedia saksi ahli dan seandainya perlu dipanggil pula tentunya akan memerlukan waktu yang relative lama dan biaya yang besar. Hal mana tidak sesuai dengan azas peradilan yang cepat, tepat dan biaya yang murah.


Kendala Nasional Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perbankan

Perlu kita perhatikan bahwa salah satu kendala nasional yang sering didengungkan oleh dunia perbankan dan praktisi hukum ialah bahwa hakim dirasakan belum mampu mendalami masalah yang menyangkut bank teknis sehingga kadangkala dapat mengakibatkan kesalahan dalam menginterprestasikan dan mengevaluasi barang bukti tersebut.

Masalah-masalah dalam tingkat nasional

1. Perundang-undangan yang belum sempurna

Hingga saat ini ketentuan perundangan yang
berlaku belum mengatur dengan tegas penanggulangan masalah kejahatan ekonomi, keadaan tersebut terutama disebabkan oleh:
a. Peraturan yang belum dapat mengejar dan memecahkan masalah kejahatan ekonomi yang perkembangannya demikian pesat akhir-akhir ini.

b. Disamping itu belum ada kesempatan diantara para ilmuan dan perancang undang-undang (legal drafter), serta kepolisian sebagai penyidik, jaksa dan hakim. Di satu pihak ada yang berpendapat bahwa KUHP dapat dipakai sebagai dasar penuntutan kejahatan ekonomi melalui penafsiran-penafsiran dan penerapan secara analog. Dilain pihak ada yang beranggapan bahwa ketentuan dalam KUHP tidak/belum cukup mengatur permasalahan-permasalahan kejahatan ekonomi, sedangkan penafsiran ketentuan hukum secara bebas dianggap membahayakan karena dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum. Dikalangan para ilmuan terlihat belum ada kesepakatan mengenai wadah/tempat pengaturan masalah kejahatan ekonomi.

c. Sanksi yang dikenakan terhadap kasus-kasus kejahatan ekonomi yang terjadi dirasakan tidak sesuai atau terlalu ringgan.


2. Kendala dalam bidang peradilan

a. Proses peradilan yang kurang memadai serta mahal.
Prinsif peradilan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970 yaitu peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya murah nampaknya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik. Proses peradilan yang tidak memadai serta mahal merupakan salah satu hambatan dalam penyelesaian masalah kejahatan ekonomi.

b. Kekurangmampuan peradilan untuk menginterprestasikan dan mengevaluasi barang bukti berupa dokumen. Sebab utama hal tersebut karena masih adanya kesenjangan pendapat antara para penegak hukum dalam menentukan tindak pidana yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan ekonomi khususnya dibidang perbankan. Disamping itu para hakim dirasakan belum mampu mendalami masalah yang menyangkut bank teknis sehingga dapat mengakibatkan kesalahan dalam menginterprestasikan dan mengevaluasi barang bukti.

3. Masalah yang muncul dalam lembaga perbankan

a. Kelemahan dalam mengamankan dan cara memproses dokumen-dokumen dan bukti-bukti lain serta penyalahgunaan wewenang. Pada umumnya kejahatan tersebut dilakukan oleh orang dalam atau bekas orang dalam. Hal tersebut disebabkan penyalahgunaan wewenang dan kelemahan dalam mengamankan dan cara memproses dokumen, berkas dan barang bukti lain terutama data computer.

b. Teknis mendeteksi kejahatan ekonomi secara dini kurang sempurna, hal ini terbukti dari banyaknya kejahatan ekonomi yang berlangsung tanpa disadari dan baru kemudian diketahui setelah timbul kerugian yang serius.


Kejahatan Perbankan Merupakan Kejahatan Ekonomi

Pelanggaran terhadap rahasia bank hanya merupakan salah satu bentuk kejahatan perbankan, sedangkan kejahatan perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan ekonomi. Yang menjadi permasalahan dari rahasia bank bukanlah adanya pembocoran rahasia, akan tetapi kenyataan bahwa rahasia bank itu kadangkala dijadikan tempat berlindung bagi penyelewengan administrasi dan kolusi di perbankan.

Maka sudah ada tempatnya apabila tindak pidana perbankan yang bermacam bentuknya dimasukkan dalam kategori kejahatan ekonomi. Namun para pakar hukum masih belum sependapat dalam memberikan batasan atau defenisi tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi, oleh karena batasan tentang kejahatan ekonomi sulit untuk dinyatakan secara tegas/jelas yang disebabkan kejahatan ekonomi berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, ekonomi dan social suatu masyarakat sehingga setiap usaha untuk membuat batasan tentang kejahatan ekonomi sangan ditentukan oleh dimensi ruang dan waktu.

Kejahatan ekonomi pada hakekatnya menyangkut dua masalah pokok yaitu manusia sebagai pelaku dan peraturan perundang-undangan sebagai piranti yang mengaturnya. Manusia sebagai pelaku kejahatan ekonomi biasanya mempunyai kecendrungan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dilain pihak peraturan perundang-undangan yang mengaturnya saat ini dalam menanggulangi kasus-kasus tertentu dirasakan sudah tidak memadai karena perkembangan teknologi yang sedemikian canggih juga diakibatkan peningkatan bentuk dan mutu kejahatan ekonomi.

Kejahatan ekonomi yang terorganisir berlangsung secara terus menerus dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada seperti kelemahan manajemen dan pengawasan, penyalahgunaan wewenang, kekurangmampuan dan kekurangtanggapan aparat penyidik, proses peradialan yang kurang memadai dan mahal serta sanksi yang dianggap tidak setimpal.


II. LATAR BELAKANG RAHASIA BANK DAN BEBERAPA PENGERTIAN

Latar Belakang

Dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, rahasia bank diatur didalam pasal 40, 41, 41A, 42, 42A, 44A. Sedangkan mengenai sanksi pidana dan administrasi diatur dalam pasal 46, 47, 47A, 48, 49, 50, 50A, 51 dan 52.

Undang-undang ini merupakan perubahan dari Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan beberapa undang-undang lainnya yang berlaku saat itu yang dianggap sudah tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian nasional maupun Internasional.

Pada dasarnya setiap orang baik secara pribadi maupun sebagai usahawan tidak menginginkan keadaan mengenai pribadinya termasuk keadaan keuangannya diketahui oleh orang lain. Bagi seorang usahawan kerahasiaan ini penting artinya demi untuk menunjang kelancaran perusahaanya, oleh karena tanpa ini setiap orang atau usahawan akan dengan mudah mempelajari keuangan perusahaan yang nantinya dapat digunakan untuk mempersulit atau menjatuhkan usahanya. Keadaan ini benar-benar disadari oleh dunia perbankan sehingga bank merasa perlu untuk merahasiakan keadaan keuangan nasabahnya yang dipercayakan kepadanya.

Tindakan ini dalam dunia perbankan dikenal dengan sebutan Rahasia Bank. Terlepas dari penyelewengan-penyelewengan oleh segelintir petugas bank melindungi penyelewengannya pada rahasia bank, rahasia bank mutlak diperlukan untuk kepentingan bank itu sendiri yakni untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank, tentunya dengan batasan-batasan tertentu.


Pengertian Rahasia Bank

Menurut Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan rahasia bank adalah Segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Kerahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayai uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalah gunakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank.


Apa Yang Wajib Dirahasiakan

Termasuk dalam pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan oleh bank adalah:

1. Keadaan keuangan nasabah yang tercatat pada bank yang bersangkutan yakni meliputi simpanan-simpanan dalam semua pos pasiva dan dalam semua pos aktiva.

2. Segala keterangan tentang orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan dan usaha nasabah.

3. Hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menirut kelaziman dalam dunia perbankan antara lain:

a. Cara nasabah menyimpan dana atau menarik dana
b. Apakah nasabah menyimpan dana secara teratur atau tidak
c. Apakah nasabah memiliki deposito atau tidak
d. Berapa besar deposito yang disimpan
e. Berapa besar kredit yang diterima
f. Berapa besar bunga kredit yang dibebankan
g. Apakah pelunasan kredit lancar, kurang lancar atau macet
h. Pemberian pelayanan dan jasa dalam lalu lintas uang baik dalam maupun luar negeri
i. Mendiskontokan dan jual-beli surat-surat berharga
j. Berbagai hal sehubungan dengan masuk keluarnya dana dan tercatat pada bank berssangkutan.


Pengecualian

Pasal 40 menyebutkan Bank wajib merahasikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, 41A, 42, 43, 44 dan 44A yaitu:

1. Untuk Kepentingan Perpajakan

Sehubungan dengan kepentingan perpajakan, ditetapkan:

a. Menteri keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

b. Perintah tertulis sebagaimana dimaksudkan diatas haruslah menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.

2. Untuk Kepentingan Peradilan

Sehubungan dengan kepentingan peradilan dalam perkara tindak pidana, ditetapkan:

a. Menteri keuangan dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keuangan tersangka/terdakwa pada bank.

b. Izin tersebut diatas diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung atau Ketua Mahkamah Agung.

c. Permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan:
-nama dan jabatan Polisi, Jaksa atau Hakim
-nama Tersangka/Terdakwa
-sebab-sebab keterangan diperlukan
-hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.


3. Tukar Menukar Informasi

a. Dengan Bank Indonesia
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak mengurangi tugas dan kewajiban Bank Indonesia tentang pengawasan dan pembinaan perbankan dalam tukar-menukar informasi. Dalam hubungan dengan tugas pembinaan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia antara lain ditetapkan kewajiban pelaporan bank-bank kepada Bank Indonesia.

b. Dengan Bank lain
Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberikan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.


IMPLIKASI HUKUM PIDANA RAHASIA BANK


Ketentuan Pidana dan Saksi Administrasi

Meskipun pembocoran rahasia bank mengenai keuangan seseorang disuatu bank sering dilakukan, baik melalui media masa maupun surat-surat selebaran khusus, namun sepengetahuan penulis belum ada pejabat atau pihak ketiga yang didakwa dimuka pengadilan karena melakukan tindak pidana tersebut. Diduga bahwa sipembocor rahasia bank atau sumbernya tidak diketahui dengan jelas sehingga penyidik sulit untuk melakukan penuntutan. Selain daripada itu ketentuan mengenai rahasia bank ini tanpaknya sangat membatasi siapa dan bagaimana cara pembocoran harus dilakukan. Berdasarkan undang-undang ini tindak pidana terhadap rahasia bank dapat dilakukan oleh 1. pihak ketiga dan 2. oleh pejabat bank itu sendiri.

1. Yang Dilakukan Pihak Ketiga

Pasal 47 Ayat (1)

Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal 41A dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2(dua) tahun dan paling lama 4(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,-(sepuluh muliyar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,-(dua ratus milyar rupiah).

2. Yang Dilakukan oleh Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank atau Pihak Terafiliasi

Pasal 47 Ayat (2)

Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2(dua) tahun dan paling lama 4(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,-(empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,-(delapan milyar rupiah).


PERMASALAHAN HUKUM

Apakah seseorang (bukan pejabat bank) yang telah mendapat informasi tentang keuangan seorang nasabah dari suatu sumber yang identitasnya tidak diketahui atau dirahasiakan dan kemudian menyebarluaskannya kepada masyarakat ramai dapat didakwa melakukan tindak pidana membocorkan rahasia bank seperti diatur dalam pasal 47 ayat (1)?


PENDAPAT

Dalam ketentuan pasal 47 ayat (1) perbuatan yang dilarang ialah dengan sengaja memaksa bank atau pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan. Maka perbuatan orang ketiga yang memperoleh informasi keuangan seorang nasabah dari suatu sumber tanpa memaksa bank atau pihak Terafiliasi tidaklah termasuk kwalifikasi pasal tersebut, dengan demikian tidak dapat dipidana.

Pihak yang dirugikan dapat saja mengajukan tuntutan pidana melalui penyidik asal saja ia dapat memberikan bukti bahwa sipelaku telah memaksa pejabat bank untuk membocorkan rahasia. Tanpa pembuktian seperti itu sulit kiranya bagi penyidik untuk menyeret sipelaku ke pengadilan.


KESIMPULAN DAN SARAN

1. Untuk menjamin kepercayaan masyarakat penyimpan uang bank, wajib merahasiakan informasi mengenai nasabah kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

2. Agar rahasia bank ini tidak disalah gunakan oleh pejabat bank untuk menyembunyikan berbagai bentuk penyelewengan, pengawasan yang lebih ketat terhadap administrasi bank perlu ditingkatkan.

Oleh: Sutrisno Setio Utomo, SH

Unsur - Unsur Tindak pidana No. 12 DRT


Menimbang    :      Bahwa Dakwaan Oditur Militer mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

                -    Unsur kesatu : ”Barang siapa

                -    Unsur kedua  : ”tanpa Hak

                -    Unsur ketiga : ”memasukan ke Indonesia, membuat, menerima, memcoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api munisi atau bahan peledak”.

Menimbang    :      Bahwa mengenai unsur kesatu ”Barangsiapa”

                     Menurut UU adalah setiap orang yang tunduk kepada perundang-undangan RI(dalam hal ini pasal 2-5,7 dan 8 KUHP) termasuk juga diri Terdakwa sebagai anggota TNI.

Menimbang    :      Bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa diperkuat dengan alat-alat bukti lain yang diajukan oleh Oditur dalam persidangan yang satu dengan lainnya saling bersesuaian terungkap fakta-fakta sebagai berikut :

                  -    Bahwa benar Terdakwa masuk menjadi anggota ABRI/TNI pada tahun      melalui pendidikan                    di
                                      Setelah lulus dilantik dengan pangkat                Nrp.            Selanjutnya ditugaskan di 

                 -    Bahwa benar Terdakwa sejak tahun         tidak pernah mengakhiri atau diakhiri ikatan dinasnya yang dapat merobah status sebagai anggota ABRI/TNI.

Menimbang    :      Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat Unsur Kesatu “Barang siapa telah terpenuhi.




Menimbang     :      Bahwa mengenai unsur kedua “tanpa hak”

                -    Dengan melihat rumusan kata-kata tanpa hak dalam delik ini, tersirat suatu pengertian bahwa tindakan/perbuatan si Pelaku/Terdakwa adalah bersifat melawan hukum, walaupun didalam delik ini tidak dirumuskan unsur”bersifat melawan hukum”(dalam hal ini menganut bersifat melawan hukum militer materiil).

                -    Namun dari kata-kata”Tanpa hak dalam perumusan delik ini, sudah dipastikan bahwa tindakan seseorang(baik militer atau non militer) sepanjang menyangkut masalah-masalah senjata api, munisi atau bahan peledak harus ada izin dari pejabat yang berwenang untuk itu.

                -    Yang dimaksudkan dengan “Hak”menurut pengertian bahasa adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu(karena telah ditentukan oleh suatu aturan), kewenangan milik, kepunyaan atas sesuatu.

                -    Yang dimaksudkan dengan “Tanpa Hak” berarti pada diri seseorang (si Pelaku/Terdakwa)tidak ada kekuasaan, kewenangan, pemilikan, kepunyaan atas sesuatu(dalam hal ini senjata, munisi atau bahan peledak). Dengan demikian bahwa kekuasaan, kewenangan, pemilikan, kepunyaan itu baru ada pada diri seseorang (si Pelaku/Terdakwa) setelah ada izin(sesuai Undang-undang yang membolehkan untuk itu.

Menimbang    :      Bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa diperkuat dengan alat-alat bukti lain yang diajukan oleh Oditur dalam persidangan yang satu dengan lainnya saling bersesuaian terungkap fakta-fakta sebagai berikut :



Menimbang    :      Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat Unsur Kedua “tanpa hak telah terpenuhi.



Menimbang    :      Bahwa mengenai unsur ketiga “memasukan ke Indonesia, membuat, menerima, memcoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api munisi atau bahan peledak.”

Menimbang     :      Bahwa perbuatan/tindakan yang dimaksud dalam unsur delik ini adalah perbuatan/tindakan yang kesemuannya bertentangan/dilarang dengan/oleh undang-undang dan diancam dengan pidana.

                -    Bahwa yang dimaksud dengan memasukan ke Indonesia adalah membawa masuk, mendatangkan sesuatu(dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak) dari luar wilayah (dari negara asing)kedalam wilayah negara RI.

                -    Yang dimaksud dengan “Membuat” adalah mengadakan, menyediakan, menjadikan, menghasilkan sesuatu (dalam hal ini senjata, munisi atau bahan peledak).

                -    Yang dimaksud dengan “Menyerahkan”adalah memberikan, mempercayakan, menyampaikan kepada (dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak) orang lain.

                -    Yang dimaksud dengan “Menguasai” adalah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu), menggunakan kuasa/pengaruhnya atas (sesuatu) dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak.

                -    Yang dimaksud dengan “Membawa” adalah memegang dilanjutkan dengan mengangkat sambil berjalan dari suatu tempat ketempat yang lain memindahkan, mengirimkan dari satu tempat ke tempat lain atas sesuatu (dalam hal ini senjata api munisi atau bahan peledak).

                -    Yang dimaksud dengan “Mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya” adalah mempunyai cadangan sesuatu (dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak) yang berada dibawah kekuasaanya/miliknya, dengan tidak mempersoalkan penempatan sesuatu itu berada dimana sepanjang masih dibawah kekuasaanya.

                -    Yang dimaksud dengan “Mengangkut” adalah membawa memindahkan sesuatu(dalam hal ini senjata api, munisi  atau bahan peledak dari satu tempat ke tempat lain.

                -    Yang dimaksud dengan “Menyimpan” adalah menempatkan sesuatu (dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak) sedemikian rupa pada suatu tempat tertentu, dimana  sesuai maksud si Pelaku/ Terdakwa  agar sesuatu itu dikuasai oleh orang lain, namun hal ini relatif sebab masih bisa didekati dan bisa dilihat oleh orang lain.

                -    Yang dimaksud dengan”Mempergunakan” adalah memakai guna/manfaat dari sesuatu(dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak), melakukan sesuatu dengan (dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak) untuk memenuhi maksud si Pelaku/Terdakwa.

                -    Bahwa dalam rumusan delik ini ada alternatif yaitu perbuatan/tindakan terlarang  memasukan sesuatu ke dalam wilayah Republik Indonesiaatau mengeluarkan sesuatu dari dalam wilayah RI (dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak).

                -    Yang dimaksud dengan “Mengeluarkan dari Indonesia” adalah membawa, mengirimkan, menyuruh keluar wilayah RI (dalam hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak).

                -    Yang dimaksud dengan “Senjata api” menurut Undang Undang Senjata Api(UU Senjata Api tahun 1936 LN tahun 1937 No.170 dan LN tahun 1939 No.278) dalam pasal 1 menyatakan bahwa yang dikatakan dengan senjata api, termasuk didalam pengertian  itu antara lain :

                     -     Bagian-bagian senjata api.

                     -     Meriam-meriam dan penyembur-penyembur api dan bagian-bagiannya.

                     -     Senjata-senjata tekanan udara dan senjata-senjata  tekanan, pistol-pistol pemberi isyarat dan selanjutya senjata-senjata api tiruan seperti pistol-pistol tanda bahaya, pistol perlombaan , revolver mati suri, pistol-pistol mati suri dan benda-benda lain yang serupa itu yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau mengejutkan demikian juga bagian-bagian senjata itu dengan pengertian bahwa senjata-senjata tekanan udara, senjata tekanan per dan senjata tiruan serta bagian-bagian senjata itu hanya dapat dipandang sebagai senjata api, apabila dengan nyata tidak dipergunakan sebagai permainan anak-anak.

                     -     Bagian-bagian munisi seperti selongsong peluru, penggalak-penggalak, peluru-peluru dan pemalut-pemalut peleluru, demikian pula proyektil untuk menghamburkan gas-gas yang mempengaruhi keadaan tubuh yang normal.

                -    Yang dimaksud dengan mesiu didalam Undang-Undang senjata api  ialah : Jenis mesiu, yang baik karena sifatnya atau penyelesaian pembuataannya, ataupun karena pembikinannya semata-mata untuk dipergunakan bagi senjata api.

                -    Didalam Undang-Undang  tahun 1948 No.8 tentang pendaftaran dan pemberian ijin pemakaian senjata api yang dimaksud dengan senjata api ialah :

a.    Senjata api dan bagian-bagiannya.

b.    Alat penyembur api dan bagian-bagiannya.

c.    Mesin dan bagian-bagiannya.

d.    Bahan peledak,termasuk juga benda-benda yang mengandung peledak seperti granat tangan, bom dll.

Menimbang    :          Bahwa berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa diperkuat dengan alat-alat bukti lain yang diajukan oleh Oditur dalam persidangan yang satu dengan lainnya saling bersesuaian terungkap fakta-fakta sebagai berikut :

Menimbang    :          Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat Unsur Ketiga “memasukan ke Indonesia, membuat, menerima, memcoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api munisi atau bahan peledak telah terpenuhi.

Menimbang    :          Bahwa oleh karena semua unsur-unsur Dakwaan Oditur Militer telah  terpenuhi, Majelis Hakim berpendapat Dakwaan Oditur Militer telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
             
Menimbang     :      Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas merupakan fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan. Majelis Hakim berpendapat bahwa terdapat cukup bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana :

                     “Barang siapa tanpa hak memasukan ke Indonesia, membuat, menerima, memcoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api munisi atau bahan peledak”.

                     Sebagaimana diatur dan diancam dengan pasal 1 UU No. 12 Drt Tahun 19951 tentang Psikotropika.

Senin, 24 Oktober 2011

TANGGUNG JAWAB KOMANDO DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Komandan satuan memiliki tanggung jawab penuh terhadap semua kegiatan yang berlangsung di kasatuannya, dalam kehidupan militer, bahwa seorang komandan bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan oleh bawahannya dalam rangka melaksanakan tugas satuan.  Tanggung jawab komandan untuk mengendalikan dan mengawasi bawahannya merupakan sendi utama dari kehidupan militer yang bertanggung jawab.
     Seorang komandan dalam memberi perintah harus jelas kepada bawahannya sehingga mudah dimengerti dan memastikan bahwa perintah yang dikeluarkannya benar-benar dimengerti oleh bawahannya, komandan harus mengawasi dan mengendalikan perilaku serta tindakan anak buahnya setiap saat.  Dengan demikian, komandan menjamin pencapaian tugas pokok dengan cara berada langsung ditengah anak buahnya, serta dengan melakukan pengamanan dan pengawasan secara terus menerus.
     Pembahasan makalah ini akan diawali uraian pembahasan mengenai doktrin tanggung jawab komando dan praktek penerapannya di tingkat internasional sesuai dengan hukum internasional.  Pembahsan berikutnya membahas tanggung jawab komando di Indonesia dengan titik berat pada tanggung jawab komando di lingkungan TNI yang meliputi tanggungn jawab dalam pembinaan kekuatan satuan yakni selaku pembina hukum, pembina disiplin, penegak hukum, tanggung jawab di bidang penggunaan kekuatan atau operasi, serta tanggung jawabnya secara pidana terhadap tindakan atau kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.

2.   Maksud dan Tujuan.
a.   Maksud.  Penulisan makalah ini, dimaksudkan untuk menjelaskan tentang konsep pertanggung jawaban komando dalam Hukum Humaniter Internasional dan hukum Nasional Indonesia.

b.   Tujuan.  Agar diperoleh kesamaan pengertian dan pemahaman yang jelas mengenai konsep pertanggung jawaban komando yang berlaku menurut hukum internasional dan hukum nasional Indonesia.

3.   Ruang Lingkup.  Ruang lingkup penulisan makalah ini meliputi pembahasan mengenai konsep pertanggung jawaban komando dan praktek penerapannya sesuai hukum humaniter internasional serta tanggung jawab komando menurut hukum atau ketentuan yang berlaku di Indonesia, dengan tata urut sebagai berikut :
a.   Pendahuluan.
b.   Doktrin Tanggung Jawab Komando.
c.   Praktek Penerapan Tanggung Jawab Komando.
d.   Tanggung Jawab Komando di Indonesia.
e.   Penutup.
     
Doktrin Tanggung Jawab Komando

4.   Sejarah perkembangan doktrin tanggung jawab komando.

     Doktrin Pertanggung jawaban komando sudah dikenal sejak tahun 1439 ketika Charles VII dari Perancis mengeluarkan perintah di Orleans yang menyatakan :

“ The King orders that each captain or lieutenant be held responsible for  the abauses. Ills and offences committed by members of his company, and that as soon as he receives any complaint concerning any such misdeed or abuse, he bring the offender to justice so that the said offender be punished in a manner commensurate with his offence. If he fails to do so or covers up the misdeed or delays taking action, or if, because of his negligence or otherwise, the offender escapes and thus evades punishment, the capatain shall be deemed responsible for the offence as if he had committed it himself and shall be punished in the  same way as the offender would have been “.

     Prinsip tanggung jawab  komando juga terdapat dalam pasal-pasal mengenai Perang (the Article of War) yang dikeluarkan oleh Gustavus Adolphus dari Swedia pada tahun 1621 yang menyebutkan : “ Seorang Kolonel atau Kapten tidak boleh memerintahkan prajuritnya untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum, barang siap yang memerintahkan yang demikian itu, harus dihukum menurut putusan hakim (No Colonel or Captain shall command his solidiers to do any unlawful thing, which who so does, shall be punished according to the discretion of the Judges) “. Demikian juga Hugo Grotius menyatakan “ Bahwa Negara dan Pejabat yang berkuasa bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah kekuasaannya, jika mereka mengetahui dan tidak melakukan pencegahan padahal mereka dapat dan harus melakukan hal itu “.
     Tanggung jawab komando dalam versi yang lebih ringkas terdapat dalam pasal 71 Lieber Code yang mengatur tingkah laku pasukan Amerika selama Perang Sipil yang menyatakan barangsiapa yang memerinthkan atau mendorong prajurit melakukan penganiayaan terhadap musuh yang telah tidak berdaya atau membunuhnya harus dihukum mati. (Whoever intentionally inflicts additional wounds upon an enemy already wholly disabled, or kills such an enemy, or who orders or encourages soldiers to do so, shall suffer death, if duly convicted).
     Ketentuan dalam traktat (treaty) yang pertama kali menentukan bahwa seorang atasan yang berwenang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hukum humaniter yang terjadi selama peperangan terdapat dalam pasal 3 Konvensi Den Haag IV tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang menyatakan :
“A belligerent party which violates the provisions of the said Regulations (annexed to the Convention), shall, if the case demands, be liable to pay compensation. It shall be responsible for all acts committed by persons forming part of its armed forces”.

5.   Tanggung Jawab Komando menurut Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977.

     Protokol Tambahan  I Konvensi Jenewa tahun 1977 (AP I) mengatur dengan tegas mengenai doktrin tanggung jawab komando.  Pasal 86 AP I meletakkan kewajiban kepada para pihak yang bersengketa dan penandatanganan Protokol untuk menindak setiap pelanggaran terhadap isi Protokol.  Pasal 86 ayat (2) AP I menyatakan “ The fact a breach of the conventions or of this Protokol was committed by a subordinate does not absolve his duperiors from penal or disciplinary, as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach and if they did not all feasible measures within their power to prevent or repress the breach”.  Pasal ini tidak menciptakan suatu aturan hukum baru, tetapi menjelaskan tentang aturan hukum kebiasaan bahwa pelanggaran dapat timbul sebagai akibat dari tidak dilakukannya suatu kewajiban.  Pasal 86 ayat (2) ini menetapkan tanggung jawab seorang atasan dalam kaitannya dengan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.  Dalam hal ini atasan wajib melakukan intervensi dengan cara mengambil semua lengkah yang memungkinkan sesuai kewenangan yang dimiliki untuk mencegah, atau menindak pelanggaran tersebut.
     Pasal 87 AP I meletakkan standard berkaitan dengan tugas dan kewajiban para komandan militer. Pasal 87 ayat (1) meletakkan kewajiban kepada para Peserta Agung dan para pihak yang terlibat dalam konflik agar para komandan militer melakukan pencegahan dan jika diperlukan, menindak setiap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenajata yang berada di bawah komandonya atau orang lain yang berada dalam pengendaliannya dan melaporkan hal itu kepada penguasa yang berwenang.
     Pasal 87 ayat (2) meletakkan suatu tugas yang spesifik kepada komandan sesuai dengan tingkatan tanggung jawabnya, untuk mejamin bahwa semua anggota militer yang berada di bawah komandonya menyadari kewajibannya menurut Konvensi dan Protokol.  Tujuannya adalah untuk mencegah  dan menindak setiap pelanggaran yang dilakukan oleh bawahanya.
     Pasal 87 ayat (3) mewajibkan setiap komandan yang menyadari bahwa bawahannya atau orang lain yang berada di bawah kendalinya akan melakukan atau telah melakukan kejahatan harus melakukan tindakan atau upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut, dan jika dipandang tepat, mengadakan tindakan disiplin atau pidana terhadap pelaku pelanggaran.

6.   Tanggung Jawab Komando menurut Statuta International Criminal Court (ICC)
     Pasal 28 huruf (a) Statuta ICC menyatakan seorang komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer bertanggung jawab secara criminal atas kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan kendalinya secara efektif, sebagai akibat kegagalannya dalam menjalankan pengendalian yang semestinya terhadap pasukan tersebut, dalam hal :
a.   Bahwa komandan militer mengetahui atau berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu, mesti telah mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan.

b.   Bahwa komandan militer tidak berhasil mengambil semua tindakan yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah atau menindak terjadinya kejahatan atau mengajukan pelanggaran tersebut kepada lembaga yang berwenang dibidang penyelidikan dan penuntutan.

     Berkaitan dengan hubungan atasan dan bawahan yang tidak tercakup dalam pasal di atas, pasal 28 huruf (b) menyatakan seorang atasan bertanggung jawab secara criminal atas kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh bewahan yang berada di bawah kekuasaan dan kendali efektifnya, sebagai akibat kegagalannya dalam menjalankan pengendalian yang semestinya terhadap bawahan tersebut, dalam hal :
a.   Atasan mengetahui, atau secara sadar mengabaikan informasi yang dengan jelas mengindikasikan bawahannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan.
b.   Kejahatan tersebut berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang berada dalam tanggung jawab dan pengendalian atasan secara efektif.
c.   Atasaan gagal mengambil semua upaya yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah dan menindak terjadinya kejahatan atau mengajukan pelanggaran tersebut kepada lembaga yang berwenang di bidang penyelidikan dan penuntuta.

7.   Praktek Penerapan Tanggung Jawab Komando
a.   Peradilan Nuremberg (The Nuremberg Tribunal)
     Keputusan yang dikeluarkan dalam Pengadilan penjahat perang Nazi di Nuremberg menetapkan prinsip yang tegas bahwa seseorang yang memberikan perintah untuk melakukan kejahatan terahadap kemanusiaan dan orang yang melaksanakan perintah tersebut keduanya sama-sama bersalah melakukan kejahatan.  Selain itu, komandan yang bertanggung jawab dapat diadili sekalipun ia tidak memerintahkan kejahtan tersebut tetapi mengetahui atau mesti harus mengetahui tindakan yang melanggar hukum itu dan gagal untuk mengambil tindakan yang semestinya untuk mencegah, menindak dan menghukumnya.  Prinsip ini berlaku terhadap Atasan militer dari Angkatan Bersenjata dan terhadap penguasa sipil.
     Seseorang yang melakukan suatu kejahatan perang berdasarkan perintah dari Atasan militer atau Atasan sipil, tidak melepaskan pelaku dari tanggung jawabnya menurut hukum internasional.  Tanggung jawab timbul bila peintah yang diberikan nyata-nyata bertentangan dengan hukum dan orang yang menerima perintah mengetahui atau harus mengetahui sifat melawan hukum dari perintah tersebut menurut hukum internasional.
     Keputusan hukum yang diambil salama pengadilan di Nuremberg telah meletakkan landasan bagi perkembangan hukum humaniter initernasional.  Pada tanggal 21 November 1947 Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 177 (II) yang mendukung prinsip-prinsip hukum internasional yang terkandung dalam Piagam Peradilan Nuremberg dan keputusan Pengadilan Nuremberg.  Komisi Hukum Internasional PBB kemudian merumuskan prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut :
1)   Setiap orang bertanggung jawab dan harus dijatuhi hukuman atas tindakan kejahatan menurut hukum internasional yang dilakukannya.
2)   Adanya kenyataan, bahwa hukum nasional tidak mengenakan hukuman bagi tindakan kejahatan menurut hukum internasional, tidak melepaskan pelaku dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
3)   Seorang kepala Negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab yang melakukan suatu kejahatan menurut hukum internasional, tidak melepaskan mereka dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
4)   Seorang yang melakukan tindakan kejahatan menurut  hukum internasional sesuai dengan perintah pemerintahnya atau atasannya tidak melepaskan dirinya dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
5)   Setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan menurut hukum internasional berhak atas peradilan yang fair mengenai faktanya atau hukumnya.
6)   Kejahatan yang dihukum sebagai kejahatan menurut hukum internasional yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
7)   Turut serta melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan menurut hukum internasional.

b.   Peradilan Tokyo (The Tokyo Tribunal)
     Jenderal Tomoyoki Yamashita, Komandan Jenderal Group AD ke-14 dari Tentara Kerajaan Jepang dan sekaligus menjabat sebagai Gubernur militer di Philipina dipersalahkan karena secara melawan hukum telah mengabaikan dan gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai komandan untuk mengendalikan operasi pasukan yang berada di bawah komandonya, membiarkan pasukannya melakukan pembunuhan brutal dan kejahatan serius lainnya terhadap warga Amerika Serikat dan Philipina, sekutunya dan keluarga mereka.
     Putusan pengadilan kejahatan perang terhadap Jendaeral Tomoyuki Yamashita pasca Perang Dunia II telah meletakkan prinsip tanggung jawab komandan terhadap pelanggaran hukum perang atau kejahatan perang. Komandan harus bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya jika terpenuhi unsur-unsur :

1)   Komandan mengetahui anak buahnya akan melakukan suatu kejahatan perang tetapi ia tidak mencegahnya.
2)   Komandan mengetahui anak buahnya telah melakukan suatu kejahatan perang tetapi ia tidak menghukumnya.
3)   Komandan seharusnya mengetahui anak buahnya akan melakukan suatu kejahatan perang tetapi ia tidak mencegahnya.
4)   Komandan seharus mengetahui anak buahnya telah melakukan suatu kejahatan perang tetapi ia tidak menghukumnya.

     Dalam kasus peradilan terhadap Admiral Toyoda, bekas Kepala Staf Armada Gabungan Angkatan Laut Jepang yang diputus pada tanggal 3 September 1949, dinyatakan bahwa elemen utama dari tanggung jawab komando adalah tindakan kejahatan perang yang dilakukan oleh bawahan atas perintah komandan.  Dalam hal unsur pengeluaran perintah tidak ada atau diragukan, maka tanggung jawab komando ada atau timbul bila terpenuhi unsur-unsur utama :

1)   Telah terjadi pembunuhan yang keji (atrocities).
2)   Adanya pemberitahuan atau laporan bahwa kejahatan tersebut telah terjadi.  Pemberitahuan ini biasa bersifat actual atau konstruktif.    Aktual dalam hal komandan melihat kejahatan tersebut dilakukan atau diberitahu segera setelah kejahatan terjadi.  Konstruktif, yaitu dalam hal banyak sekali terjadi kejahatan di dalam komandonya, sehingga menurut penilaian akal sehat seseorang akan sampai pada kesimpulan bahwa komandan mesti telah mengetahui kejahatan tersebut atau terjadinya kejahatan yang dilakukan dan berlangsung secara rutin.
3)   Kekuasaan komando.  Yaitu harus terbukti memiliki kewenangan untuk memberikan perintah kepada pelaku kejahatan agar tidak melakukan tindakan-tindakan illegal dan menghukum pelaku kejahatan tersebut.
4)   Gagal dalam mengambil tindakan yang diperlukan sesuai kekuasaan yang dimilikinya untuk mengendalikan pasukan yang berada di bawah komandonya dan untuk mencegah tindakan pelanggaran terhadap hukum perang.

c.   Peradilan di bekas Negara Yugoslavia.
     Dalam Statuta Pengadilan Internasional untuk penuntutan Orang-orang yang bertanggung jawab dalam Pelanggaran Serius terhadap  Hukum Humaniter Internasional yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia (Statute of the International Tribunal for the Prosecution of Persons responsible for Serious Violation of International Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia since 1991, 25 May 1993) diatur dengan jelas mengenai tanggung jawab komando.  Menurut pasal 7 ayat (2) Statuta posisi tertuduh sebagai seorang kepala Negara atau pejabat tinggi tidak melepaskan mereka dari tanggung jawab atas kejahatan terhadap hukum perang atau menjadi factor yang meringankan.
     Pasal 7 ayat (3) menegaskan kembali prinsip yang telah diletakkan dalam Pengadilan Kejahatan Perang di masa Perang Dunia II yaitu seorang komandan dapat dikenakan tanggung jawab mengenai kejahatan yang dilakukan oleh prajurit yang berada di bawah komandonya jika ia memerinthkan kejahatan tersebut, atau menyadari atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan kejahatan yang demikian itu dan gagal untuk mengambil langkah yang diperlukan dan masuk akal guna mencegahnya.
     Statuta ICTY mengulang kembali prinsip Nuremberg yang berkaitan dengan pembelaan terhadap perintah atasan (superior orders).  Pasal 7 ayat (4) menegaskan:   adanya fakta bahwa seorang pelaku kejahatan melakukan tindakan berdasarkan perintah atasan tidak dapat dijadikan sebagai pembelaan, walaupun hal itu dapat dipertimbangkan untuk meringankan hukuman.
     Tuduhan yang diajukan terhadap Radovan Karadzic dan Ratko Mladic di Pengadilan Internasional untuk bekas Yugoslavia berlandaskan doktrin tanggung jawab komando.  Karadzic dalam dakwaan disebut sebagai “ presiden Pemerintahan Serbia di Bosnia yang kekuasaannya mencakup mengomandoi pasukan militer pemerintahan Serbia di Bosnia dan memiliki kekuasaan untuk mengangkat, mempromosikan dan memberhentikan pejabat-pejabat militer “.    Mladic disebut sebagai “ Komandan Pasukan Pemerintahan Serbia di Bosnia “. Keduanya dituduh telah melakukan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran berat Konvensi Jenewa dan pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang.

TANGGUNG JAWAB KOMANDO DI INDONESIA

8.   Tanggung jawab dalam Pembinaan
     Tanggung jawab komando dalam pembinaan yaitu melakukan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, pengendalian sumber daya manusia, alat peralatan agar pasukan siap untuk digunakan setiap saat bila diperlukan.  Tanggung jawab komando dalam pembinaan kekuatan satuan termasuk pula pembinaan hukum di satuannya yang diwujudkan dalam penerapan hukum sebagai fungsi komando, yakni selaku pembina hukum, pembina disiplin, penegak hukum ;

a.   Sebagai Pembina Hukum
1)   Setiap Komandan mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pembinaan hukum di satuannya.  Penerapan hukum disatuan merupakan fungsi komando dalam rangka pembentukan sikap dan perilaku prajurit dan satuan sesuai aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
2)   Seorang komandan harus memberikan keteladanan atau contoh sesuai dengan kode kehormatan dan etika militer dan dengan cara demikian, komandan dapat menuntut kepatuhan para bawahananya agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kode kehormatan dan etika yang berlaku.
3)   Penerapan hukum di satuan harus diselenggarakan secara berkesinambungan dalam keseluruhan aspek kehidupan militer mulai dari pendidikan, latihan, operasi dan pelaksanaan tugas.
4)   Sebagai pembina hukum, maka putusan-putusan yang dikeluarkan oleh komandan harus berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, tidak hanya didasarkan atas doktrin dan etika militer saja.  Komandan harus menjadikan hukum sebagai pertimbangan utama dalam setiap keputusan yang dikeluarkannya.
5)   Komandan bertanggung jawab untuk mengeluarkan berbagai ketentuan pelibatan atau Rules of Engagement dan Prosedur Tetap atau Standing Operating Procedure untuk menjamin agar bertindak dan tindakan yang dilakukan oleh prajurit di bawah komandonya sesuai dengan hukum dan memperoleh perlidungan dari segi hukum.

b.   Sebagai Pembina Disiplin
1)   Komandan berkewajiban untuk menjamin bahwa setiap bawahannya bersikap dan berperilaku sesuai dengan disiplin militer yang  berlaku.  Apabila prajurit bawahannya melakukan pelanggaran terhadap disiplin militer, komandan berwenang untuk  menjatuhkan tindakan disiplin maupun hukuman disiplin.
2)   Dalam rangka pembinaan disiplin, komandan berkewajiban untuk menyusun rencana kegiatan pembinaan disiplin secara teratur dan terus menerus di kesatuannya.
3)   Komadan bertanggung jawab untuk menegakkan disiplin di kesatuannya.  Terhadap setiap pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh bawahannya harus dilakukan pengusutan dan diselesaikan menurut ketentuan hukum disiplin militer.
4)   Komandan bertindak selaku ankum (atasan yang berhak menghukum) atau hakim disiplin terhadap setiap pelanggaran hukum disiplin yang dilakukan oleh prajurit bawahannya.

c.   Sebagai Penegak Hukum.
1)   Memberlakukan ketentuan hukum di kesatuan maupun dalam pelaksanaan operasi militer secara benar sehingga sikap dan perilaku prajurit selalu mengacu pada hukum dan peraturan yang berlaku.
2)   Komandan memiliki kewajiban untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dalam pertempuran.  Komandan mengeluarkan perintah dalam situasi yang sulit dan waktu yang sempit berdasarkan informasi yang diperoleh ketika itu.  Situasi pertempuran yang demikian itu, mengharuskan komandan untuk menentukan cara bertindak  dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan serta larangan-larangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.  Oleh karena itu komandan harus mampu menerapkan aturan hukum yang mengatur tindakan prajurit dilapangan.
3)   komandan harus mengetahui, memahami dan melaksanakan ketentuan pelibatan yang ada.  Ketentuan pelibatan berguna bagi komandan untuk mengatur penggunaan kekerasan senjata dalam konteks kebijakan militer dan politik, hokum nasional dan hukum internasional yang berlaku.  Melalui ketentuan pelibatan, seorang komandan dapat memonitor dan mengawasi prajurit bawahananya di lapangan apakah sesuai dengan keinginan komandan yang telah ditetapkan terutama meyangkut penentuan sasaran, penentuan cara bertindak dan penggunaan senajata.
4)   Komandan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membuat lampiran hukum dalam setiap operasi yang dilakukan.  Lampiran hukum ini harus ada dalam setiap Perencanaan Operasi maupun Perintah Operasi.  Sejak awal komandan harus mempertimbangkan hukum sebagai elemen esensial dalam pelaksanaan operasi.  Perwira hukum harus mengambil peran aktif dalam membantu komandan menyusun lampiran hukum.
5)   Sebagai penegak hukum, komandan harus mempedomani dan melaksanakan prosedur tetap yang berlaku. Prosedur tetap yang berlaku akan menjamin pertanggung jawaban publik dari setiap cara bertindak dan tindakan yang diambil oleh komandan beserta prajurit dalam setiap penugasan operasi.
6)   Perintah yang dikeluarkan oleh komandan harus jelas singkat dan sesuai dengan hukum yang berlaku.  Perintah yang sesuai dengan hukum harus memenuhi persyaratan yaitu materinya mengenai kepentingan dinas/ kepentingan militer, pemberi dan penerima harus berstatus militer, komandan atau seorang atasan harus memiliki kompetensi untuk mengeluarkan perintah.
7)   Bawahan dapat mengabaikan perintah atasan jika perintah tersebut mengandung instruksi untuk melakukan suatu kejahatan, melakukan suatua tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau kepentingan militer, perintah itu tidak mungkin dilaksanakan baik karena keadaan yang tidak memungkinkan maupun karena perubahan situasi atau karena timbulnya suatu keadaan yang tidak (dapat) diperhitungkan oleh pemberi perintah sebelumnya.
8)   Komandan harus melakukan pengusutan terhadap  setiap pelanggaran, mendukung tindakan pengusutan yang dilakukan komando atas sebelum lembaga lain melakukan pengusutan terhadap pelanggaran tersebut.  Komandan harus melakukan tindakan secara dini apabila ada indikasi bawahannya diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum.
9)   Mencegah atau menghentikan kejahatan yang dilakukan bawahannya.  Apabila komandan gagal atau tidak mampu mencegah maka komandan dapat diminta pertanggung jawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh prajurti bawahannya tersebut.
10)  Komandan harus memastikan bahwa bawahannya bila melakukan tindakan kekerasan berlangsung secara proporsional, ada keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan kemanusiaan.
11)  Menindak setiap bawahannya yang melakukan kejahatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan prosedur hukum yang berlaku.  Seorang komandan yang tidak mengambil tindakan hukum atau menghukum bawahannya berdasarkan bukti-bukti yang ada dapat dipandang bersekongkol dalam kejahatan tersebut.

9.   Tanggung jawab dalam penggunaan
a.   Komandan bertanggung jawab dalam penggunaan kekuatan dalam setiap operasi militer baik operasi pertahanan maupun operasi keamanan dalam negeri. Operasi pertahanan adalah semua operasi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan nasional Negara terhadap ancaman nyata dari kekuatan asing.  Operasi Keamanan Dalam Negeri adalah operasi dalam rangka menanggulangi atau mengatasi infiltrasi, subversi dan pemberontakan dengan tujuan memelihara atau mengembalikan keutuhan Negara.
b.   Proses Pengambilan Keputusan
     Dalam proses pengambilan keputusan harus berlandaskan pada doktrin, etika keprajuritan dan hukum yang berlaku.  Ketiga elemen ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam proses pengambilan keputusan.  Jika komandan mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku dan hanya mendasarkan putusan pada doktrin atau etika saja dapat berakibat keputusan tidak memiliki legalitas dan sering menajdi penyebab timbulnya pelanggaran hukum oleh prajurit.
     Komandan bertanggung jawab untuk membuat ketentuan pelibatan dalam setiap penugasan operasi dan membuat suatu lampiran hukum dalam setiap Rencana Operasi atau Perintah Operasi.  Untuk penyusunan ketentuan pelibatan dan lampiran hukum, seorang komandan dapat meminta bantuan dari perwira hukum.

c.   Kebijakan Pelibatan (National Security Directive).
1)   Untuk menjamin legalitas operasi militer dilaksanakan oleh TNI, sangat diperlukan adanya kebijikan pelibatan pada tingkat nasional yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia.  Dalam kebijakan pelibatan tersebut dicantumkan pertimbangan-pertimbangan politik, hukum, sosial budaya, ekonomi, diplomatik maupun militer yang terkait dalam rangka mencapai kepentingan nasional melalui penggunaan kekuatan militer.
2)   Atas dasar kebijakan pada tingkat nasional itulah, Panglima TNI mengeluarkan direktif kepada unsur-unsur angkatan yang dilibatkan dalam operasi untuk ditindaklanjuti dan dijabarkan lebih jauh sesuai dengan misi operasi yang spesefik.  Direktif yang dikeluarkan pada tingkat nasional dan markas besar memungkinkan komandan untuk merencanakan operasi dengan lebih baik, memudahkan komandan dalam merancang dan menyusun ketentuan pelibatan, serta menyesuaikan tindakan mereka dengan kebijakan nasinal yang berlaku.

d.   Tanggung Jawab Terhadap Pelanggaran Hukum
1)   Tanggung jawab pidana seorang komandan terhadap tindakan yang dilakukan  bawahannya mensyaratkan adanya keterlibatan secara personal, keterkaitan, pengetahuan dan maksud (intent).  Untuk meminta pertanggung jawaban komandan, tidaklah berarti komandan tersebut telah melakukan sendiri kejahatan, atau ia telah memerintahkan dilakukannya suatu  kejahatan.  Tanggung jawab pidana komandan didasarkan pada terjadinya pelanggaran terhadap tugas (breach of duty).  Pelanggaran terhadap tugas dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana dengan dua cara.  Pertama, jika pelanggaran terhadap dinas mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama terjadinya tindak pidana.  Disini, tindak pidana tidak akan terjadi jika tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dinas.  Kedua, komandan harus memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/kejahatan tersebut.
2)   Memerintahkan bawahan untuk melakukan kejahtan, dihukum dengan hukuman yang sama atau lebih berat dari hukuman yang dijatuhkan kepada bawahan yang melakukan perbuatan yang secara nyata merupakan pelanggaran terhdap hukum internasional dan hukum nasional, tidak berlaku sebagai pemaaf atau meniadakan kesalahan pelaku kejahatan tersebut.
3)   Seorang komandan juga bertanggung jawab terhadap kejahatan perang yang dilakukan oleh anak buahnya.  Jika pasukan melakukan suatu pembunuhan massal dan pembaian terhadap penduduk sipil atau tawanan perang, tanggung jawab tidak hanya dikenakan kepada anak buah yang melakukan kejahatan (pelaku), tetapi juga komandan harus bertanggung jawab.  Tanggung jawab tersebut timbul, jika tindakan bawahan tersebut dilakukan atas dasar suatu perintah yang dikeluarkan oleh komandan.  Komandan juga bertanggung jawab secara pidana jika ia mengeluarkan perintah kepada bawahan di luar kewenangan yang berakibat timbulnya suatu kejahtan yang dilakukan oleh  bawahannya.  Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 51 KUHP.
4)   Tanggung jawab pidana seorang komandan  atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan dalam hal adanya perintah dapat dikaitkan dengan pasal 55 KUHP tentang penyertaan.  Dengan demikian unsur-unsur pembuktian menurut ketentuan pasal 55 KUHP dapat diterapkan untuk membuktikan adanya unsur tanggung jawab komando terhadap seorang terdakwa yang dimintai tanggung jawab karena memerintahkan bawahanya melakukan kejahatan.
 
Penutup

a.   Komadan bertanggung jawab jika ia sungguh-sungguh mengetahui, seharusnya mengetahui, melalui laporan yang diterimanya atau melalui cara lain, bahwa pasukannya atau orang yang berada di bawah kendalinya akan melakukan atau telah  melakukan kejahatan perang dan komandan tersebut tidak mampu untuk mengambil tindakan yang diperlukan dan langkah yang tepat agar anak buahnya mematuhi ketentuan hukum perang atau tidak menghukum pelaku kejahatan tersebut.

b.   Doktrin tanggung jawab komando berlaku atas dasar prinsip-prinsip yaitu :  Seorang atasan dapat dikenakan tanggung jawab karena pembiaran (omission), gagal menjalankan kewajiban untuk mengendalikan bawahan.  Seorang atasan hanya bertanggung jawab jika ia mengetahui atau mesti mengetahui bahwa bawahannya melakukan atau akan melakukan suatu pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.

c.   Komandan mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap semua kegiatan yang terjadi di kesatuanya menyangkut segala aspek kehidupan prajurit di kesatuannya termasuk aspek hukum.  Tugas dan tanggung jawab komando dibidang hukum berkaitan dengan fungsi seorang komandan sebagai pembina hukum, pembina disiplin, penegak hukum di kesatuannya.  Oleh karena itu baik buruknya suatu  kesatuan beserta prajuritnya, termasuk kualitas serta kapasitasnya dibidang profesi militer sangat  ditentukan oleh kepemimpinan yang diterapkan oleh komandannya.
 
d.   Komandan harus bertanggung jawab terhadap setiap pelanggaran hukum yang terjadi di kesatuannya termasuk dapat diminta pertanggung jawaban bila ditemukan bukti bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh bawahannya timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perintah komandan yang bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional yang berlaku. 

Oleh: Mayjen TNI Drs. Burhan Dahlan, SH. MH.