Komandan satuan memiliki tanggung jawab
penuh terhadap semua kegiatan yang berlangsung di kasatuannya, dalam kehidupan
militer, bahwa seorang komandan bertanggung jawab terhadap tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya dalam rangka melaksanakan tugas satuan. Tanggung jawab komandan untuk mengendalikan
dan mengawasi bawahannya merupakan sendi utama dari kehidupan militer yang
bertanggung jawab.
Seorang komandan dalam memberi perintah harus
jelas kepada bawahannya sehingga mudah dimengerti dan memastikan bahwa perintah
yang dikeluarkannya benar-benar dimengerti oleh bawahannya, komandan harus
mengawasi dan mengendalikan perilaku serta tindakan anak buahnya setiap
saat. Dengan demikian, komandan menjamin
pencapaian tugas pokok dengan cara berada langsung ditengah anak buahnya, serta
dengan melakukan pengamanan dan pengawasan secara terus menerus.
Pembahasan makalah ini akan diawali uraian
pembahasan mengenai doktrin tanggung jawab komando dan praktek penerapannya di
tingkat internasional sesuai dengan hukum internasional. Pembahsan berikutnya membahas tanggung jawab
komando di Indonesia dengan titik berat pada tanggung jawab komando di
lingkungan TNI yang meliputi tanggungn jawab dalam pembinaan kekuatan satuan
yakni selaku pembina hukum, pembina disiplin, penegak hukum, tanggung jawab di
bidang penggunaan kekuatan atau operasi, serta tanggung jawabnya secara pidana
terhadap tindakan atau kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.
2. Maksud
dan Tujuan.
a. Maksud. Penulisan makalah ini, dimaksudkan untuk
menjelaskan tentang konsep pertanggung jawaban komando dalam Hukum Humaniter
Internasional dan hukum Nasional Indonesia.
b. Tujuan. Agar diperoleh kesamaan pengertian dan
pemahaman yang jelas mengenai konsep pertanggung jawaban komando yang berlaku
menurut hukum internasional dan hukum nasional Indonesia.
3. Ruang
Lingkup. Ruang lingkup penulisan
makalah ini meliputi pembahasan mengenai konsep pertanggung jawaban komando dan
praktek penerapannya sesuai hukum humaniter internasional serta tanggung jawab
komando menurut hukum atau ketentuan yang berlaku di Indonesia, dengan tata
urut sebagai berikut :
a. Pendahuluan.
b. Doktrin Tanggung Jawab Komando.
c. Praktek Penerapan Tanggung Jawab Komando.
d. Tanggung Jawab Komando di Indonesia.
e. Penutup.
Doktrin
Tanggung Jawab Komando
4. Sejarah
perkembangan doktrin tanggung jawab komando.
Doktrin Pertanggung jawaban komando sudah
dikenal sejak tahun 1439 ketika Charles VII dari Perancis mengeluarkan perintah
di Orleans yang menyatakan :
“ The King orders that each captain or
lieutenant be held responsible for the
abauses. Ills and offences committed by members of his company, and that as
soon as he receives any complaint concerning any such misdeed or abuse, he
bring the offender to justice so that the said offender be punished in a manner
commensurate with his offence. If he fails to do so or covers up the misdeed or
delays taking action, or if, because of his negligence or otherwise, the
offender escapes and thus evades punishment, the capatain shall be deemed
responsible for the offence as if he had committed it himself and shall be punished
in the same way as the offender would
have been “.
Prinsip tanggung jawab komando juga terdapat dalam pasal-pasal
mengenai Perang (the Article of War) yang dikeluarkan oleh Gustavus Adolphus
dari Swedia pada tahun 1621 yang menyebutkan : “ Seorang Kolonel atau Kapten
tidak boleh memerintahkan prajuritnya untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum,
barang siap yang memerintahkan yang demikian itu, harus dihukum menurut putusan
hakim (No Colonel or Captain shall command his solidiers to do any unlawful
thing, which who so does, shall be punished according to the discretion of the
Judges) “. Demikian juga Hugo Grotius menyatakan “ Bahwa Negara dan Pejabat
yang berkuasa bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang
yang berada di bawah kekuasaannya, jika mereka mengetahui dan tidak melakukan
pencegahan padahal mereka dapat dan harus melakukan hal itu “.
Tanggung jawab komando dalam versi yang
lebih ringkas terdapat dalam pasal 71 Lieber Code yang mengatur tingkah laku
pasukan Amerika selama Perang Sipil yang menyatakan barangsiapa yang
memerinthkan atau mendorong prajurit melakukan penganiayaan terhadap musuh yang
telah tidak berdaya atau membunuhnya harus dihukum mati. (Whoever intentionally
inflicts additional wounds upon an enemy already wholly disabled, or kills such
an enemy, or who orders or encourages soldiers to do so, shall suffer death, if
duly convicted).
Ketentuan dalam traktat (treaty) yang
pertama kali menentukan bahwa seorang atasan yang berwenang bertanggung jawab
terhadap pelanggaran hukum humaniter yang terjadi selama peperangan terdapat
dalam pasal 3 Konvensi Den Haag IV tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan
Perang di Darat yang menyatakan :
“A
belligerent party which violates the provisions of the said Regulations (annexed
to the Convention), shall, if the case demands, be liable to pay compensation.
It shall be responsible for all acts committed by persons forming part of its
armed forces”.
5. Tanggung
Jawab Komando menurut Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977.
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 (AP I) mengatur
dengan tegas mengenai doktrin tanggung jawab komando. Pasal 86 AP I meletakkan kewajiban kepada
para pihak yang bersengketa dan penandatanganan Protokol untuk menindak setiap
pelanggaran terhadap isi Protokol. Pasal
86 ayat (2) AP I menyatakan “ The fact a breach of the conventions or of this
Protokol was committed by a subordinate does not absolve his duperiors from
penal or disciplinary, as the case may be, if they knew, or had information
which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time,
that he was committing or was going to commit such a breach and if they did not
all feasible measures within their power to prevent or repress the
breach”. Pasal ini tidak menciptakan
suatu aturan hukum baru, tetapi menjelaskan tentang aturan hukum kebiasaan
bahwa pelanggaran dapat timbul sebagai akibat dari tidak dilakukannya suatu
kewajiban. Pasal 86 ayat (2) ini
menetapkan tanggung jawab seorang atasan dalam kaitannya dengan tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya. Dalam hal ini
atasan wajib melakukan intervensi dengan cara mengambil semua lengkah yang
memungkinkan sesuai kewenangan yang dimiliki untuk mencegah, atau menindak
pelanggaran tersebut.
Pasal 87 AP I meletakkan standard berkaitan
dengan tugas dan kewajiban para komandan militer. Pasal 87 ayat (1) meletakkan
kewajiban kepada para Peserta Agung dan para pihak yang terlibat dalam konflik
agar para komandan militer melakukan pencegahan dan jika diperlukan, menindak
setiap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenajata yang berada
di bawah komandonya atau orang lain yang berada dalam pengendaliannya dan
melaporkan hal itu kepada penguasa yang berwenang.
Pasal 87 ayat (2) meletakkan suatu tugas
yang spesifik kepada komandan sesuai dengan tingkatan tanggung jawabnya, untuk
mejamin bahwa semua anggota militer yang berada di bawah komandonya menyadari
kewajibannya menurut Konvensi dan Protokol.
Tujuannya adalah untuk mencegah
dan menindak setiap pelanggaran yang dilakukan oleh bawahanya.
Pasal 87 ayat (3) mewajibkan setiap
komandan yang menyadari bahwa bawahannya atau orang lain yang berada di bawah
kendalinya akan melakukan atau telah melakukan kejahatan harus melakukan
tindakan atau upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut, dan jika
dipandang tepat, mengadakan tindakan disiplin atau pidana terhadap pelaku
pelanggaran.
6. Tanggung
Jawab Komando menurut Statuta International Criminal Court (ICC)
Pasal 28 huruf (a) Statuta ICC menyatakan
seorang komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer bertanggung jawab secara criminal atas kejahatan yang berada
dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah
komando dan kendalinya secara efektif, sebagai akibat kegagalannya dalam
menjalankan pengendalian yang semestinya terhadap pasukan tersebut, dalam hal :
a. Bahwa komandan militer mengetahui atau
berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu, mesti telah mengetahui bahwa
pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan.
b. Bahwa komandan militer tidak berhasil
mengambil semua tindakan yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya
untuk mencegah atau menindak terjadinya kejahatan atau mengajukan pelanggaran
tersebut kepada lembaga yang berwenang dibidang penyelidikan dan penuntutan.
Berkaitan dengan hubungan atasan dan
bawahan yang tidak tercakup dalam pasal di atas, pasal 28 huruf (b) menyatakan
seorang atasan bertanggung jawab secara criminal atas kejahatan yang berada
dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh bewahan yang berada di bawah
kekuasaan dan kendali efektifnya, sebagai akibat kegagalannya dalam menjalankan
pengendalian yang semestinya terhadap bawahan tersebut, dalam hal :
a. Atasan mengetahui, atau secara sadar
mengabaikan informasi yang dengan jelas mengindikasikan bawahannya sedang
melakukan atau akan melakukan kejahatan.
b. Kejahatan tersebut berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan yang berada dalam tanggung jawab dan pengendalian atasan
secara efektif.
c. Atasaan gagal mengambil semua upaya yang
semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah dan menindak
terjadinya kejahatan atau mengajukan pelanggaran tersebut kepada lembaga yang
berwenang di bidang penyelidikan dan penuntuta.
7. Praktek
Penerapan Tanggung Jawab Komando
a. Peradilan Nuremberg (The Nuremberg Tribunal)
Keputusan yang dikeluarkan dalam Pengadilan
penjahat perang Nazi di Nuremberg menetapkan prinsip yang tegas bahwa seseorang
yang memberikan perintah untuk melakukan kejahatan terahadap kemanusiaan dan
orang yang melaksanakan perintah tersebut keduanya sama-sama bersalah melakukan
kejahatan. Selain itu, komandan yang
bertanggung jawab dapat diadili sekalipun ia tidak memerintahkan kejahtan
tersebut tetapi mengetahui atau mesti harus mengetahui tindakan yang melanggar hukum
itu dan gagal untuk mengambil tindakan yang semestinya untuk mencegah, menindak
dan menghukumnya. Prinsip ini berlaku
terhadap Atasan militer dari Angkatan Bersenjata dan terhadap penguasa sipil.
Seseorang yang melakukan suatu kejahatan
perang berdasarkan perintah dari Atasan militer atau Atasan sipil, tidak
melepaskan pelaku dari tanggung jawabnya menurut hukum internasional. Tanggung jawab timbul bila peintah yang
diberikan nyata-nyata bertentangan dengan hukum dan orang yang menerima
perintah mengetahui atau harus mengetahui sifat melawan hukum dari perintah
tersebut menurut hukum internasional.
Keputusan hukum yang diambil salama
pengadilan di Nuremberg telah meletakkan landasan bagi perkembangan hukum
humaniter initernasional. Pada tanggal
21 November 1947 Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 177 (II) yang mendukung
prinsip-prinsip hukum internasional yang terkandung dalam Piagam Peradilan
Nuremberg dan keputusan Pengadilan Nuremberg.
Komisi Hukum Internasional PBB kemudian merumuskan prinsip-prinsip
tersebut sebagai berikut :
1) Setiap orang bertanggung jawab dan harus
dijatuhi hukuman atas tindakan kejahatan menurut hukum internasional yang
dilakukannya.
2) Adanya kenyataan, bahwa hukum nasional tidak
mengenakan hukuman bagi tindakan kejahatan menurut hukum internasional, tidak
melepaskan pelaku dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
3) Seorang kepala Negara atau pejabat pemerintah
yang bertanggung jawab yang melakukan suatu kejahatan menurut hukum
internasional, tidak melepaskan mereka dari tanggung jawab menurut hukum
internasional.
4) Seorang yang melakukan tindakan kejahatan menurut hukum internasional sesuai dengan perintah
pemerintahnya atau atasannya tidak melepaskan dirinya dari tanggung jawab
menurut hukum internasional.
5) Setiap orang yang didakwa melakukan suatu
kejahatan menurut hukum internasional berhak atas peradilan yang fair mengenai
faktanya atau hukumnya.
6) Kejahatan yang dihukum sebagai kejahatan
menurut hukum internasional yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
7) Turut serta melakukan kejahatan terhadap perdamaian,
kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan
menurut hukum internasional.
b. Peradilan Tokyo (The Tokyo Tribunal)
Jenderal Tomoyoki Yamashita, Komandan
Jenderal Group AD ke-14 dari Tentara Kerajaan Jepang dan sekaligus menjabat
sebagai Gubernur militer di Philipina dipersalahkan karena secara melawan hukum
telah mengabaikan dan gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai komandan untuk
mengendalikan operasi pasukan yang berada di bawah komandonya, membiarkan
pasukannya melakukan pembunuhan brutal dan kejahatan serius lainnya terhadap
warga Amerika Serikat dan Philipina, sekutunya dan keluarga mereka.
Putusan pengadilan kejahatan perang
terhadap Jendaeral Tomoyuki Yamashita pasca Perang Dunia II telah meletakkan
prinsip tanggung jawab komandan terhadap pelanggaran hukum perang atau
kejahatan perang. Komandan harus bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya
jika terpenuhi unsur-unsur :
1) Komandan mengetahui anak buahnya akan
melakukan suatu kejahatan perang tetapi ia tidak mencegahnya.
2) Komandan mengetahui anak buahnya telah
melakukan suatu kejahatan perang tetapi ia tidak menghukumnya.
3) Komandan seharusnya mengetahui anak buahnya
akan melakukan suatu kejahatan perang tetapi ia tidak mencegahnya.
4) Komandan seharus mengetahui anak buahnya
telah melakukan suatu kejahatan perang tetapi ia tidak menghukumnya.
Dalam kasus peradilan terhadap Admiral
Toyoda, bekas Kepala Staf Armada Gabungan Angkatan Laut Jepang yang diputus
pada tanggal 3 September 1949, dinyatakan bahwa elemen utama dari tanggung
jawab komando adalah tindakan kejahatan perang yang dilakukan oleh bawahan atas
perintah komandan. Dalam hal unsur
pengeluaran perintah tidak ada atau diragukan, maka tanggung jawab komando ada
atau timbul bila terpenuhi unsur-unsur utama :
1) Telah terjadi pembunuhan yang keji
(atrocities).
2) Adanya pemberitahuan atau laporan bahwa
kejahatan tersebut telah terjadi.
Pemberitahuan ini biasa bersifat actual atau konstruktif. Aktual dalam hal komandan melihat kejahatan
tersebut dilakukan atau diberitahu segera setelah kejahatan terjadi. Konstruktif, yaitu dalam hal banyak sekali
terjadi kejahatan di dalam komandonya, sehingga menurut penilaian akal sehat
seseorang akan sampai pada kesimpulan bahwa komandan mesti telah mengetahui
kejahatan tersebut atau terjadinya kejahatan yang dilakukan dan berlangsung
secara rutin.
3) Kekuasaan komando. Yaitu harus terbukti memiliki kewenangan
untuk memberikan perintah kepada pelaku kejahatan agar tidak melakukan
tindakan-tindakan illegal dan menghukum pelaku kejahatan tersebut.
4) Gagal dalam mengambil tindakan yang
diperlukan sesuai kekuasaan yang dimilikinya untuk mengendalikan pasukan yang
berada di bawah komandonya dan untuk mencegah tindakan pelanggaran terhadap hukum
perang.
c. Peradilan di bekas Negara Yugoslavia.
Dalam Statuta Pengadilan Internasional
untuk penuntutan Orang-orang yang bertanggung jawab dalam Pelanggaran Serius
terhadap Hukum Humaniter Internasional
yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia (Statute of the International Tribunal
for the Prosecution of Persons responsible for Serious Violation of
International Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former
Yugoslavia since 1991, 25 May 1993) diatur dengan jelas mengenai tanggung jawab
komando. Menurut pasal 7 ayat (2)
Statuta posisi tertuduh sebagai seorang kepala Negara atau pejabat tinggi tidak
melepaskan mereka dari tanggung jawab atas kejahatan terhadap hukum perang atau
menjadi factor yang meringankan.
Pasal 7 ayat (3) menegaskan kembali prinsip
yang telah diletakkan dalam Pengadilan Kejahatan Perang di masa Perang Dunia II
yaitu seorang komandan dapat dikenakan tanggung jawab mengenai kejahatan yang
dilakukan oleh prajurit yang berada di bawah komandonya jika ia memerinthkan
kejahatan tersebut, atau menyadari atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa
bawahannya akan melakukan kejahatan yang demikian itu dan gagal untuk mengambil
langkah yang diperlukan dan masuk akal guna mencegahnya.
Statuta ICTY mengulang kembali prinsip
Nuremberg yang berkaitan dengan pembelaan terhadap perintah atasan (superior
orders). Pasal 7 ayat (4)
menegaskan: adanya fakta bahwa seorang
pelaku kejahatan melakukan tindakan berdasarkan perintah atasan tidak dapat
dijadikan sebagai pembelaan, walaupun hal itu dapat dipertimbangkan untuk
meringankan hukuman.
Tuduhan yang diajukan terhadap Radovan
Karadzic dan Ratko Mladic di Pengadilan Internasional untuk bekas Yugoslavia
berlandaskan doktrin tanggung jawab komando.
Karadzic dalam dakwaan disebut sebagai “ presiden Pemerintahan Serbia di
Bosnia yang kekuasaannya mencakup mengomandoi pasukan militer pemerintahan
Serbia di Bosnia dan memiliki kekuasaan untuk mengangkat, mempromosikan dan
memberhentikan pejabat-pejabat militer “.
Mladic disebut sebagai “ Komandan Pasukan Pemerintahan Serbia di Bosnia
“. Keduanya dituduh telah melakukan kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, pelanggaran berat Konvensi Jenewa dan pelanggaran terhadap hukum
dan kebiasaan perang.
TANGGUNG
JAWAB KOMANDO DI INDONESIA
8. Tanggung
jawab dalam Pembinaan
Tanggung jawab komando dalam pembinaan
yaitu melakukan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengerahan,
pengendalian sumber daya manusia, alat peralatan agar pasukan siap untuk
digunakan setiap saat bila diperlukan.
Tanggung jawab komando dalam pembinaan kekuatan satuan termasuk pula
pembinaan hukum di satuannya yang diwujudkan dalam penerapan hukum sebagai
fungsi komando, yakni selaku pembina hukum, pembina disiplin, penegak hukum ;
a. Sebagai Pembina Hukum
1) Setiap Komandan mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pembinaan hukum di satuannya. Penerapan hukum disatuan merupakan fungsi
komando dalam rangka pembentukan sikap dan perilaku prajurit dan satuan sesuai
aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
2) Seorang komandan harus memberikan keteladanan
atau contoh sesuai dengan kode kehormatan dan etika militer dan dengan cara
demikian, komandan dapat menuntut kepatuhan para bawahananya agar bersikap dan
berperilaku sesuai dengan kode kehormatan dan etika yang berlaku.
3) Penerapan hukum di satuan harus
diselenggarakan secara berkesinambungan dalam keseluruhan aspek kehidupan
militer mulai dari pendidikan, latihan, operasi dan pelaksanaan tugas.
4) Sebagai pembina hukum, maka putusan-putusan
yang dikeluarkan oleh komandan harus berdasarkan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku, tidak hanya didasarkan atas doktrin dan etika militer saja. Komandan harus menjadikan hukum sebagai
pertimbangan utama dalam setiap keputusan yang dikeluarkannya.
5) Komandan bertanggung jawab untuk mengeluarkan
berbagai ketentuan pelibatan atau Rules of Engagement dan Prosedur Tetap atau
Standing Operating Procedure untuk menjamin agar bertindak dan tindakan yang
dilakukan oleh prajurit di bawah komandonya sesuai dengan hukum dan memperoleh
perlidungan dari segi hukum.
b. Sebagai Pembina Disiplin
1) Komandan berkewajiban untuk menjamin bahwa
setiap bawahannya bersikap dan berperilaku sesuai dengan disiplin militer
yang berlaku. Apabila prajurit bawahannya melakukan pelanggaran
terhadap disiplin militer, komandan berwenang untuk menjatuhkan tindakan disiplin maupun hukuman
disiplin.
2) Dalam rangka pembinaan disiplin, komandan
berkewajiban untuk menyusun rencana kegiatan pembinaan disiplin secara teratur
dan terus menerus di kesatuannya.
3) Komadan bertanggung jawab untuk menegakkan
disiplin di kesatuannya. Terhadap setiap
pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh bawahannya harus dilakukan pengusutan
dan diselesaikan menurut ketentuan hukum disiplin militer.
4) Komandan bertindak selaku ankum (atasan yang
berhak menghukum) atau hakim disiplin terhadap setiap pelanggaran hukum
disiplin yang dilakukan oleh prajurit bawahannya.
c. Sebagai Penegak Hukum.
1) Memberlakukan ketentuan hukum di kesatuan
maupun dalam pelaksanaan operasi militer secara benar sehingga sikap dan
perilaku prajurit selalu mengacu pada hukum dan peraturan yang berlaku.
2) Komandan memiliki kewajiban untuk
melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dalam pertempuran. Komandan mengeluarkan perintah dalam situasi
yang sulit dan waktu yang sempit berdasarkan informasi yang diperoleh ketika
itu. Situasi pertempuran yang demikian
itu, mengharuskan komandan untuk menentukan cara bertindak dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan
serta larangan-larangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu komandan harus mampu
menerapkan aturan hukum yang mengatur tindakan prajurit dilapangan.
3) komandan harus mengetahui, memahami dan
melaksanakan ketentuan pelibatan yang ada.
Ketentuan pelibatan berguna bagi komandan untuk mengatur penggunaan
kekerasan senjata dalam konteks kebijakan militer dan politik, hokum nasional
dan hukum internasional yang berlaku.
Melalui ketentuan pelibatan, seorang komandan dapat memonitor dan
mengawasi prajurit bawahananya di lapangan apakah sesuai dengan keinginan
komandan yang telah ditetapkan terutama meyangkut penentuan sasaran, penentuan
cara bertindak dan penggunaan senajata.
4) Komandan memiliki tugas dan tanggung jawab
untuk membuat lampiran hukum dalam setiap operasi yang dilakukan. Lampiran hukum ini harus ada dalam setiap
Perencanaan Operasi maupun Perintah Operasi.
Sejak awal komandan harus mempertimbangkan hukum sebagai elemen esensial
dalam pelaksanaan operasi. Perwira hukum
harus mengambil peran aktif dalam membantu komandan menyusun lampiran hukum.
5) Sebagai penegak hukum, komandan harus
mempedomani dan melaksanakan prosedur tetap yang berlaku. Prosedur tetap yang
berlaku akan menjamin pertanggung jawaban publik dari setiap cara bertindak dan
tindakan yang diambil oleh komandan beserta prajurit dalam setiap penugasan
operasi.
6) Perintah yang dikeluarkan oleh komandan harus
jelas singkat dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Perintah yang sesuai dengan hukum harus
memenuhi persyaratan yaitu materinya mengenai kepentingan dinas/ kepentingan
militer, pemberi dan penerima harus berstatus militer, komandan atau seorang
atasan harus memiliki kompetensi untuk mengeluarkan perintah.
7) Bawahan dapat mengabaikan perintah atasan
jika perintah tersebut mengandung instruksi untuk melakukan suatu kejahatan,
melakukan suatua tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
kepentingan militer, perintah itu tidak mungkin dilaksanakan baik karena
keadaan yang tidak memungkinkan maupun karena perubahan situasi atau karena
timbulnya suatu keadaan yang tidak (dapat) diperhitungkan oleh pemberi perintah
sebelumnya.
8) Komandan harus melakukan pengusutan
terhadap setiap pelanggaran, mendukung
tindakan pengusutan yang dilakukan komando atas sebelum lembaga lain melakukan
pengusutan terhadap pelanggaran tersebut.
Komandan harus melakukan tindakan secara dini apabila ada indikasi
bawahannya diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum.
9) Mencegah atau menghentikan kejahatan yang
dilakukan bawahannya. Apabila komandan
gagal atau tidak mampu mencegah maka komandan dapat diminta pertanggung jawaban
atas kejahatan yang dilakukan oleh prajurti bawahannya tersebut.
10) Komandan harus memastikan bahwa bawahannya
bila melakukan tindakan kekerasan berlangsung secara proporsional, ada keseimbangan
antara kepentingan militer dengan kepentingan kemanusiaan.
11) Menindak setiap bawahannya yang melakukan
kejahatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan prosedur hukum yang
berlaku. Seorang komandan yang tidak
mengambil tindakan hukum atau menghukum bawahannya berdasarkan bukti-bukti yang
ada dapat dipandang bersekongkol dalam kejahatan tersebut.
9. Tanggung
jawab dalam penggunaan
a. Komandan bertanggung jawab dalam penggunaan
kekuatan dalam setiap operasi militer baik operasi pertahanan maupun operasi
keamanan dalam negeri. Operasi pertahanan adalah semua operasi dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan nasional Negara terhadap ancaman
nyata dari kekuatan asing. Operasi
Keamanan Dalam Negeri adalah operasi dalam rangka menanggulangi atau mengatasi
infiltrasi, subversi dan pemberontakan dengan tujuan memelihara atau
mengembalikan keutuhan Negara.
b. Proses Pengambilan Keputusan
Dalam proses pengambilan keputusan harus
berlandaskan pada doktrin, etika keprajuritan dan hukum yang berlaku. Ketiga elemen ini merupakan hal yang sangat
fundamental dalam proses pengambilan keputusan.
Jika komandan mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku dan hanya
mendasarkan putusan pada doktrin atau etika saja dapat berakibat keputusan
tidak memiliki legalitas dan sering menajdi penyebab timbulnya pelanggaran hukum
oleh prajurit.
Komandan bertanggung jawab untuk membuat
ketentuan pelibatan dalam setiap penugasan operasi dan membuat suatu lampiran hukum
dalam setiap Rencana Operasi atau Perintah Operasi. Untuk penyusunan ketentuan pelibatan dan
lampiran hukum, seorang komandan dapat meminta bantuan dari perwira hukum.
c. Kebijakan Pelibatan (National Security
Directive).
1) Untuk menjamin legalitas operasi militer
dilaksanakan oleh TNI, sangat diperlukan adanya kebijikan pelibatan pada
tingkat nasional yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia. Dalam kebijakan pelibatan tersebut
dicantumkan pertimbangan-pertimbangan politik, hukum, sosial budaya, ekonomi,
diplomatik maupun militer yang terkait dalam rangka mencapai kepentingan
nasional melalui penggunaan kekuatan militer.
2) Atas dasar kebijakan pada tingkat nasional
itulah, Panglima TNI mengeluarkan direktif kepada unsur-unsur angkatan yang
dilibatkan dalam operasi untuk ditindaklanjuti dan dijabarkan lebih jauh sesuai
dengan misi operasi yang spesefik.
Direktif yang dikeluarkan pada tingkat nasional dan markas besar
memungkinkan komandan untuk merencanakan operasi dengan lebih baik, memudahkan
komandan dalam merancang dan menyusun ketentuan pelibatan, serta menyesuaikan
tindakan mereka dengan kebijakan nasinal yang berlaku.
d. Tanggung Jawab Terhadap Pelanggaran Hukum
1) Tanggung jawab pidana seorang komandan
terhadap tindakan yang dilakukan
bawahannya mensyaratkan adanya keterlibatan secara personal,
keterkaitan, pengetahuan dan maksud (intent).
Untuk meminta pertanggung jawaban komandan, tidaklah berarti komandan
tersebut telah melakukan sendiri kejahatan, atau ia telah memerintahkan
dilakukannya suatu kejahatan. Tanggung jawab pidana komandan didasarkan
pada terjadinya pelanggaran terhadap tugas (breach of duty). Pelanggaran terhadap tugas dapat
mengakibatkan terjadinya tindak pidana dengan dua cara. Pertama, jika pelanggaran terhadap dinas
mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama terjadinya tindak
pidana. Disini, tindak pidana tidak akan
terjadi jika tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dinas. Kedua, komandan harus memiliki kesempatan dan
kemampuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/kejahatan tersebut.
2) Memerintahkan bawahan untuk melakukan
kejahtan, dihukum dengan hukuman yang sama atau lebih berat dari hukuman yang
dijatuhkan kepada bawahan yang melakukan perbuatan yang secara nyata merupakan
pelanggaran terhdap hukum internasional dan hukum nasional, tidak berlaku
sebagai pemaaf atau meniadakan kesalahan pelaku kejahatan tersebut.
3) Seorang komandan juga bertanggung jawab
terhadap kejahatan perang yang dilakukan oleh anak buahnya. Jika pasukan melakukan suatu pembunuhan
massal dan pembaian terhadap penduduk sipil atau tawanan perang, tanggung jawab
tidak hanya dikenakan kepada anak buah yang melakukan kejahatan (pelaku),
tetapi juga komandan harus bertanggung jawab.
Tanggung jawab tersebut timbul, jika tindakan bawahan tersebut dilakukan
atas dasar suatu perintah yang dikeluarkan oleh komandan. Komandan juga bertanggung jawab secara pidana
jika ia mengeluarkan perintah kepada bawahan di luar kewenangan yang berakibat
timbulnya suatu kejahtan yang dilakukan oleh
bawahannya. Hal ini sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam pasal 51 KUHP.
4) Tanggung jawab pidana seorang komandan atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan
dalam hal adanya perintah dapat dikaitkan dengan pasal 55 KUHP tentang
penyertaan. Dengan demikian unsur-unsur
pembuktian menurut ketentuan pasal 55 KUHP dapat diterapkan untuk membuktikan
adanya unsur tanggung jawab komando terhadap seorang terdakwa yang dimintai
tanggung jawab karena memerintahkan bawahanya melakukan kejahatan.
Penutup
a. Komadan bertanggung jawab jika ia sungguh-sungguh
mengetahui, seharusnya mengetahui, melalui laporan yang diterimanya atau
melalui cara lain, bahwa pasukannya atau orang yang berada di bawah kendalinya
akan melakukan atau telah melakukan
kejahatan perang dan komandan tersebut tidak mampu untuk mengambil tindakan
yang diperlukan dan langkah yang tepat agar anak buahnya mematuhi ketentuan hukum
perang atau tidak menghukum pelaku kejahatan tersebut.
b. Doktrin tanggung jawab komando berlaku atas
dasar prinsip-prinsip yaitu : Seorang
atasan dapat dikenakan tanggung jawab karena pembiaran (omission), gagal
menjalankan kewajiban untuk mengendalikan bawahan. Seorang atasan hanya bertanggung jawab jika
ia mengetahui atau mesti mengetahui bahwa bawahannya melakukan atau akan
melakukan suatu pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.
c. Komandan mempunyai tugas dan tanggung jawab
terhadap semua kegiatan yang terjadi di kesatuanya menyangkut segala aspek
kehidupan prajurit di kesatuannya termasuk aspek hukum. Tugas dan tanggung jawab komando dibidang hukum
berkaitan dengan fungsi seorang komandan sebagai pembina hukum, pembina
disiplin, penegak hukum di kesatuannya.
Oleh karena itu baik buruknya suatu
kesatuan beserta prajuritnya, termasuk kualitas serta kapasitasnya
dibidang profesi militer sangat
ditentukan oleh kepemimpinan yang diterapkan oleh komandannya.
d. Komandan harus bertanggung jawab terhadap
setiap pelanggaran hukum yang terjadi di kesatuannya termasuk dapat diminta
pertanggung jawaban bila ditemukan bukti bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh bawahannya timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perintah komandan yang
bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional yang berlaku.
Oleh: Mayjen TNI Drs. Burhan Dahlan, SH. MH.