Kamis, 07 Desember 2017

Mekanisme Menemukan Hukum Dalam Hukum Pidana

Oleh : Laksamana Pertama TNI Bambang Angkoso S.H., M.H.

A.              UMUM.
                Penemuan hukum sangat berbeda dengan penerapan hukum. Dalam penemuan hukum ditemukan sesuatu yang baru yang dapat dilakukan, baik melalui penafsiran, analogi, maupun dengan penghalusan hukum.
                  Dalam proses menemukan hukum hal yang penting harus dipahami adalah sistim hukum, dimana langkah awal untuk menemukan hukum harus dalam koridor sistim hukum, sedangkan sistim hukum itu sendiri terdapat tiga komponen meliputi: Struktur, Substansi dan Kultur Hukum.
                  Struktur hukum meliputi keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya : Polisi, Jaksa dan Hakim. Sedangkan Substansi hukum adalah; keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk diantaranya putusan-putusan pengadilan. Adapun kultur hukum meliputi opini-opini, kepercayaan kepercayaan, kebiasaan kebiasaan, cara berfikir dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
                  Ketika seorang penegak hukum melakukan kewajibanya  ternyata perkara yang ditanganinya merupakan perbuatan yang belum diatur secara spesifik oleh suatu ketentuan sedangkan norma hukumnya membatasi hakim untuk menemukan hukumnya, apa yang dilakukan oleh poenegak hukum tersebut?
                Kendala tersebut bisa saja terjadi karena menurut Paul Scholten “ adalah sesuatu yang khayal apabila orang beranggapan bahwa suatu uandang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas “. Masih menurut Scholten “ Het recht is er, doch het moet worden gevonden “ ( hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan)
                Menurut Sudikno Mertokusumo lazimnya penemuan hukum itu adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit. Dengan kata lain penemuan hukum itu adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit tertentu.
                Terdapat sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, bahwa “ Het recht hinkt achter de feiten aan” yang artinya : “ Hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya “, ungkapan ini pada jaman sekarang masih berlaku karena dalam  perkembangan zaman, tidak tertutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat hukum pidana itu dikodifikasikan dalam sebuah kitab undang-undang. Seiring dengan perkembangan jaman pula, banyak kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin bertambah canggih, sehingga dalam proses beracara sangat diperlukan bagi hakim dan para penegak hukum lain suatu tehnik atau prosedur dalam mengungkap kejahatan dan mencari kebenaran materiilnya.
                Ketika hukum itu tertinggal jauh dari peristiwanya, dan peristiwa itu nyata-nyata merupakan sebuah kejahatan yang meresahkan masyarakat, maka peristiwa tersebut harus dimajukan di meja persidangan, dalam pemeriksaan persidangan ternyata peristiwa sebagaimana dimaksud belum diatur oleh suatu hukum pidana yang telah terkodifikasi, apakah hakim harus menolaknya karena hukumnya belum ada?


B.             RUANG LINGKUP.
                Dalam penulisan ini focus pembahasannya adalah mencari bagaimana mekanismenya dalam hal hakim menemukan hukum (bukan menerapkan hukum) ketika mengadili suatu perkara yang ternyata peristiwanya itu belum diatur dalam sebuah kitab undang-undang. Penemuan hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah baik atas bidang hukum materiil maupun bidang hukum formilnya (hukum acaranya).

 C.             MAKSUD DAN TUJUAN.
                Metode interpretasi/penafsiran sebagai salah satu cara dalam menemukan hukum dibatasi oleh asas legalitas secara ketat, tetapi penemuan hukum yang pada hakekatnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim (judge made law) adalah sangat penting dalam hal hakim atau penegak hukum lain menghadapi suatu peristiwa pidana yang belum ada hukumnya. Oleh karena itu setiap penegak hukum khususnya hakim dituntut harus menguasai bagaimana sebenarnya dapat menemukan hukum tetapi seminimal mungkin tidak melanggar azas legalitas. Barang kali penulisan ini dapat memberikan sebuah solusi maupun wawasan untuk tujuan tersebut di atas khusunya hakim maupun penegak hukum lainya.

 D.            PERMASALAHAN.
                Dalam menemukan hukum maupun bagaimana caranya menemukan hukum secara normatif tidak ada petunjuknya, tidak ada pula undang-undang yang mengaturnya. Langkah menemukan hukum diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan atau kebebasan hakim.
                Namun pada sisi yang lain dengan berlakunya azas  legalitas, hakim sebenarnya dilarang mengisi kekosongan undang-undang, oleh karenanya hakim dilarang menciptakan peraturan yang berlaku dan mengikat secara umum. Hakim pidana tidak sebebas hakim perdata dalam hal menemukan hukum, hakim pidana dilarang menerapkan penafsiran “ argumentum a contrario” dan “argumentum peranalogiam”.
                Terdapat beberapa prinsip umum yang terkait dengan azas legalitas, antara lain :
1.             Prinsip “ nullum crimen, noela poena sine lege praevia” artinya; tidak  ada perbuatan pidana tanpa adanya undang-undang sebelumnya, konsekwensinya tidak berlakunya azas retroaktif.
2.             Prinsip “ nullum crimen, noella poena sine lege scripta” artinya ; tidak ada perbuatan pidana tanda adanya undang-undang yang dibuat secara tertulis. Konsekwensinya semua ketentuan pidana harus tertulis. Semua perbuatan ang dilarang maupun ancaman pidanya harus tertulis secara expressive verbis dalam undang-undang.
3.             Prinsip “ nullum crimen, noella poena sine lege certa ” artinya; tidak ada perbuatan pidana tanpa adanya aturan undang-undang yang jelas. Konsekwensinya adalah setiap rumusan perbuatan pidana harus jelas undang-undang, tidak multitafsir sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum.
4.             Prinsip “ nullum crimen, noella poena sine lege stricta ” artinya; tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang diatur secara ketat. Konsekwensinya secara implisit tidak diperbolehkannya analogi.
                  Pinsip-prinsip tersebut di atas sangat menghalang-halangi hakim dalam menemukan hukum. Hal tersebut dipertegas dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu yang menyatakan tugas hakim dalam konteks hukum pidana hanyalah “ qui pronounce  les paroles de la loi ” ( hakim hanya sebagai corong undang-undang).
               
                  Meskipun demikian dalam menghadapi perkembangan jaman melalui kemajuan tehnologi, masih adakah jalan bagi hakim dan penegak hukum lain untuk menemukan hukum ketika dihadapkan pada suatu fakta yang mana secara nyata  merupakan pelanggaran terhadap norma.

 E.             PEMBAHASAN.
                Persoalan terbesar penemuan hukum dalam hukum pidana adalah bagaimana cara menemukan hukum tersebut. Dalam menemukan hukum terdapat dua unsur penting yang harus diperhatikan yaitu:
1.             Hukum atau sumber hukum, hal ini dapat diperoleh dari;
                a.             doktrin,
                b.             yurisprudensi,
                c.             perjanjian,
                d.             kebiasaan.

2.             Fakta.
                Sebelum hukum diterapkan  pada peristiwa yang konkrit terlebih dahulu harus menetapkan apa sesungguhnya yang menjadi situasi faktual sebagai penemuan suatu kebenaran, kemudian situasi faktual tersebut dapat dipandang sebagai relevan secara yuridis. Penemuan suatu kebenaran dalam peradilan pidana mengimplikasikan bahwa hakim memandang peristiwa yang didakwakan terbukti didasarkan pada isi dan alat-alat bukti yang SAH. Berdasarkan itulah maka hakim memperoleh suatu keyakinan bahwa fakta-fakta yang dikemukakan dalam dakwaan, dalam kenyataannya sungguh-sungguh terjadi. Jadi hakim harus bersifat aktif dalam menemukan kebenaran fakta-fakta tersebut ( mencari dan menemukan kebenaran materiil). Hal ini sangat berbeda dalam konteks peradilan perdata dimana hakim bersifat pasif karena hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak yang melandasi gugatan.
Cara menemukan hukum dapat dilakukan dengan jalan melakukan penafsiran atau analogi. Adapun tehnik melakukan penafsiran dapat berpedoman pada pendapat para ahli maupun dengan memahami asas-asas umum tentang penafsiran.
Menurut Jonkers ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penafsiran yaitu:
1. Jika kata-kata sudah jelas, maka yang berlaku adalah kata itu, bukan maksudnya. Harus diingat bahwa hakimlah yang menilai apakah suatu kata itu sudah jelas ( Is het word duidelijk dan geldt het word en niet de bedoeling. Hierbij moet worden bedacht, dat het de rechter is, die beoordeelt of een word duidelijk is),
2.  Jika kata-kata tidak jelas, namun dapat diartikan berbeda-beda, maka yang dipilih adalah kata-kata yang sesuai dengan tujuannya (Is het word niet duidelijk, maar voor verschillenden uitleg vatbaar, dan gaat boven het word de bedoeling).
3.  Jika kemungkinan penjelasan berbeda-beda, maka yang dipilih adalah kata-kata yang tidak mempunyai akibat apapun ( bij de mogelijkheid van verschillenden uitleg gaat de opvatting, die aan de woorden zin geeft boven die, welke geenerlei effect  heelf ).

                  Sedangkan asas-asas umum tentang penafsiran yang bisa dipedomani dalam proses menemukan hukum dalam hukum pidana dapat diuraikan sebagai berikut :
1.               Asas “ proporsionalitas” dan ” asas subsidiaritas”.
                  Dua asas ini merupakan asas utama yang saling terkait dalam prinsip regulasi/mengatur suatu penafsiran dalam upaya menemukan hukum. Asas proporsionalitas adalah asas mencari keseimbangan terhadap suatu undang-undang yang bertitik tolak dari keseimbangan antara cara dan tujuan dari dibentuknya sebuah undang-undang. Sedangkan asas subsidiaritas diperguanakan jika menghadapi suatu persoalan yang sulit dan menimbulkan beberapa alternatif pemecahan, sehingga kita harus memilih pemecahannya, jika demikian kemungkinannya maka digunakan penafsiran yang paling sedikit menimbulkan kerugian.
2.               Asas “ relevansi “ dalam hukum pidana, yaitu keberlakuan hukum pidana yang hanya menekankan adanya persoalan penyimpangan perilaku social yang patut mendapat reaksi, sanksi dan koreksi dari sudut pandang hukum pidana. Asas ini mendasari pada fungsi umum hukum pidana sebagaimana yang disampaikan oleh Vos “….hukum pidana adalah untuk melawan kelakuan-kelakuan yang tidak   normal  “ ( …het strafrecht zicht tegen min of meer abnormal gedragingen ).
3.               Asas kepatutan (menurut Marten Luther), asas yang dalam hal menguji logika yuridis lebih mengedepankan rasa kepatutan yang berkembang ditengah masyarakat.
4.               Asas “in dubio pro reo”, maksud asas ini adalah jika terdapat keraguan dalam membaca suatu ketentuan hukum, maka kita harus memilih ketentuan atau penjelasan yang paling menguntungkan terdakwa. Asas ini ditentang oleh Pompe dengan mengatakan ; “…berdasarkan karakter hukum pidana dan hukum acara pidana sebagai hukum public, jika ada keragu-raguan tentang sesuatu, penuntut umum dan hakim berusaha menghilangkan keragu-raguan itu dengan penyelidikan. Setelah penyelidikan yang luas tentang perkara tersebut, masih tidak pasti, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah (…..wegen het publiekrechtelijke karakter van strafrecht en strafprocesrecht beide dienen bij aanvankelijke onzekerheid de vervolgende ambtenaar en de rechter zelf er naar te striven deze onzekerheid door onderzoek op te heffen. Ook na uitgebreid en nauwkeurig onderzoek kan de zaak echter onzeker blijven, en dan volgts strafbaarverklaring van de verdachte).
5.               Asas “ exeptio format regulam “ ( exception frimat vim legis in casibus non exeptis ), maksud asas ini adalah jika terdapat aturan khusus yang menyimpang terhadap aturan umum, maka penyimpangan tersebut harus diartikan secara sempit. Sebagai contoh dalam perkembangan hukum pidana banyak melahirkan perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana dalam suatu peraturan di luar undang-undang yang telah dikodifikasi. Seringkali peraturan tersebut memuat aturan menyimpang dari aturan yang umum, baik secara materiil maupun formil. Jika demikian maka penyimpangan itu harus diartikan secara sempit dalam pengertian khusus terhadap perbuatan pidana yang diatur dalam peraturan yang belum dikodifikasi tersebut.
6.               Asas “titulus est lex” dan “rubrica  est lex”, yang pertama diartikan : “ judul perundang-undangan yang menentukan “ dan kedua diartikan : “ bagian dari perundang-undanganlah yang menentukan”. Sebagai contoh tindakan aborsi hanya dapat dipidana jika dilakukan terhadap janin/kandungan yang telah bernyawa, bukan terhadap janin/kandungan yang belum bernyawa. Hal ini disebabkan karena KUHP memasukan tindakan aborsi sebagai bagian dari kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa. Jadi bagian yang menentukan dari kejahatan aborsi  adalah kejahatan terhadap nyawa.
7.               Asas materiil  berkaitan dengan aturan tidak tertulis yang merujuk pada tatanan sosial etis dan cita-cita/idealism hukum tertentu. Dalam asas ini terkandung makna bahwa pada saat melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, hakim harus memperhatikan asas tersebut sepanjang telah diakui dalam hukum dengan dibuktikan berdasarkan doktrin atau yurisprudensi.  Asas ini terkait dengan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif maupun sifat melawan hukum dalam fungsinya yang positif.
                  a.        Sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif diartikan: bahwa meskipun suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, jika menurut pandangan hidup masyarakat perbuatan itu bukan merupakan perbuatan tercela berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, maka perbuatan itu tidak dijatuhi pidana, sebagai contoh putusan Mahkamah Agung RI no: 42 K / Kr / 1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam kasus penyalah gunaan DO Gula di PN Singkawang.
                  b.        Sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif diartikan : bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik jika perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh putusan Mahkamah Agung RI no: 275 K/Pid/1982 tanggal 15 Desember 1983, dalam kasus korupsi di Bank Bumi Daya.
                  Hal lain yang harus diperhatikan dalam proses penemuan hukum adalah dengan menggunakan metode penafsiran, metode penafsiran yang bersifat umum dan sering digunakan antara lain sebagai berikut :
1.               Interpretasi gramatikal, yaitu : makna ketentuan undang-undang yang ditafsirkan dengan cara menguraikannya menurut bahasa umum sehari hari. Sebagai contoh putusan Hoge Raad 30 Januari 1996 NJ 1996.23 berkenaan dengan pengertian “mayat” menurut pasal 151 WvS yang menafsirkannya menurut kamus besar bahasa Belanda bahwa mayat itu tidak harus dipahami sebagai jenasah dari seorang manusia yang sedemikian lengkap namun juga badan tanpa kepala, tangan dan kaki.
2.               Interpretasi sistimatis/logis, yaitu: menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan cara menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistim hukum yang ada. Penafsiran ini tidak hanya mengacu pada pasal yang ada tetapi harus melihat pasal yang lain dalam undang-undang yang sama atau undang-undang lainya, bahkan sistim hukum yang ada secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.
3.               Interpretasi historis, yaitu : menafsirkan makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang-undangan, mencari pertautan pada penulis-penulis dfalam konteks kemasyarakatan di masa lampau.
4.               Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu : menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentukannya dari bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut.
5.               Interpretasi komperatif , yaitu : penafsiran dengan membandingkan ketentuan undang-undang di berbagai Negara, terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional.
6.               Interpretasi antisipatif/futuristic, yaitu : penafsiran dengan menggunakan peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku karena masih dalam rancangan undang-undang.
7.               Interpretasi evolutif-dinamis, yaitu : pemaknaan oleh seorang hakim atas dasar perkembangan hukum yang terjadi setelah kemunculan atau diberlakukannya aturan-aturan hukum tertentu. Penafsiran ini digunakan jika terjadi perkembangan pemikiran tentang hukum yang dalam pergaulan kemasyarakatan dicerminkan dari keadaan moralitas tertentu atau dalam perundang-undangan lainnya dari hukum.
8.               Interpretasi kreatif, yaitu : dengan menggunakan interpretasi ini hakim mengungkap satu unsur tertentu yang dianggabnya terkandung dalam suatu rumusan pidana, meskipun unsur tersebut tidak diuraikan secara tegas di dalamnya.
9.               Interpretasi  tradisional, yaitu : menemukan hukum dengan cara melihat suatu perilaku dalam tradisi hukum.
10.            Interpretasi harmoniserende, yaitu : penafsiran yang dipergunakan untuk menghindari disharmoni atau konflik antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
11.            Interpretasi doktriner, yaitu : menafsirkan undang-undang dengan cara memperkuat argumentasi dengan merujuk pada suatu doktrin tertentu.
                   Dalam praktek tehnik penggunaan berbagai interpretasi tersebut dilakukan dengan secara bersamaan, sehingga batasanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan dengan jelas, dengan kata lain pada setiap kegiatan penafsiran terdapat gabungan berbagai unsur misalnya gramatikal, sistimatis, historis maupun teleologis dan sebagainya.

 F.               KESIMPULAN.
                  Berdasarkan apa yang diuraikan di atas maka terdapat beberapa hal yang secara bertahap harus diperhatikan dalam proses penemuan hukum, yaitu :
1.   Adanya suatu peraturan hukum yang bersifat umum.
2.   Adanya peristiwa konkrit yang ditemukan.
3.    Peraturan hukum yang bersifat umum itu kemudian harus diterapkan      terhadap peristiwa konkrit yang ditemukan sebagai wujud penemuan hukum dengan jalan melakukan interpretasi atau analogi.
4.   Penemuan hukum merupakan tugas hakim dalam persidangan yang dimulai dengan pengkonstantiran suatu peristiwa konkrit, mengkualifikasikan peristiwa konkrit yang telah ditemukan menjadi peristiwa hukum.
5. Menjatuhkan  vonis/putusan dengan menerapkan aturan hukum terhadap peristiwa hukum tersebut.
                Adapun prioritas penafsiran mana yang dipergunakan dalam hukum pidana tidak dapat ditentukan secara kaku. Namun bila dilihat dari berbagai yurisprudensi yang ada maka penafsiran yang sering digunakan secara urut adalah: penafsiran teleologis, gramatikal dan sistimatis. Oleh karena itulah maka di dalam hukum pidana, apabila dikaitkan dengan penemuan hukum metode penasirannya cenderung mengarah pada metode penafsiran yang ekstensif.

                Dengan demikian maka antara metode penafsiran ekstensif dengan analogi dalam hukum pidana tidak terdapat perbedaan. Penggunaan analogi dalam hukum pidana sangat cocok untuk  disesuaikan dengan dinamika masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, hal ini sesuai dengan tujuan hukum pidana modern yaitu guna melindungi kepentingan masyarakat dari berbagai tindakan kejahatan. 

Mekanisme Menemukan Hukum Dalam Hukum Pidana

Oleh : Laksamana Pertama TNI Bambang Angkoso S.H., M.H.

A.              UMUM.
                Penemuan hukum sangat berbeda dengan penerapan hukum. Dalam penemuan hukum ditemukan sesuatu yang baru yang dapat dilakukan, baik melalui penafsiran, analogi, maupun dengan penghalusan hukum.
                  Dalam proses menemukan hukum hal yang penting harus dipahami adalah sistim hukum, dimana langkah awal untuk menemukan hukum harus dalam koridor sistim hukum, sedangkan sistim hukum itu sendiri terdapat tiga komponen meliputi: Struktur, Substansi dan Kultur Hukum.
                  Struktur hukum meliputi keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya : Polisi, Jaksa dan Hakim. Sedangkan Substansi hukum adalah; keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk diantaranya putusan-putusan pengadilan. Adapun kultur hukum meliputi opini-opini, kepercayaan kepercayaan, kebiasaan kebiasaan, cara berfikir dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
                  Ketika seorang penegak hukum melakukan kewajibanya  ternyata perkara yang ditanganinya merupakan perbuatan yang belum diatur secara spesifik oleh suatu ketentuan sedangkan norma hukumnya membatasi hakim untuk menemukan hukumnya, apa yang dilakukan oleh poenegak hukum tersebut?
                Kendala tersebut bisa saja terjadi karena menurut Paul Scholten “ adalah sesuatu yang khayal apabila orang beranggapan bahwa suatu uandang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas “. Masih menurut Scholten “ Het recht is er, doch het moet worden gevonden “ ( hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan)
                Menurut Sudikno Mertokusumo lazimnya penemuan hukum itu adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit. Dengan kata lain penemuan hukum itu adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit tertentu.
                Terdapat sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, bahwa “ Het recht hinkt achter de feiten aan” yang artinya : “ Hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya “, ungkapan ini pada jaman sekarang masih berlaku karena dalam  perkembangan zaman, tidak tertutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat hukum pidana itu dikodifikasikan dalam sebuah kitab undang-undang. Seiring dengan perkembangan jaman pula, banyak kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin bertambah canggih, sehingga dalam proses beracara sangat diperlukan bagi hakim dan para penegak hukum lain suatu tehnik atau prosedur dalam mengungkap kejahatan dan mencari kebenaran materiilnya.
                Ketika hukum itu tertinggal jauh dari peristiwanya, dan peristiwa itu nyata-nyata merupakan sebuah kejahatan yang meresahkan masyarakat, maka peristiwa tersebut harus dimajukan di meja persidangan, dalam pemeriksaan persidangan ternyata peristiwa sebagaimana dimaksud belum diatur oleh suatu hukum pidana yang telah terkodifikasi, apakah hakim harus menolaknya karena hukumnya belum ada?


B.             RUANG LINGKUP.
                Dalam penulisan ini focus pembahasannya adalah mencari bagaimana mekanismenya dalam hal hakim menemukan hukum (bukan menerapkan hukum) ketika mengadili suatu perkara yang ternyata peristiwanya itu belum diatur dalam sebuah kitab undang-undang. Penemuan hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah baik atas bidang hukum materiil maupun bidang hukum formilnya (hukum acaranya).

 C.             MAKSUD DAN TUJUAN.
                Metode interpretasi/penafsiran sebagai salah satu cara dalam menemukan hukum dibatasi oleh asas legalitas secara ketat, tetapi penemuan hukum yang pada hakekatnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim (judge made law) adalah sangat penting dalam hal hakim atau penegak hukum lain menghadapi suatu peristiwa pidana yang belum ada hukumnya. Oleh karena itu setiap penegak hukum khususnya hakim dituntut harus menguasai bagaimana sebenarnya dapat menemukan hukum tetapi seminimal mungkin tidak melanggar azas legalitas. Barang kali penulisan ini dapat memberikan sebuah solusi maupun wawasan untuk tujuan tersebut di atas khusunya hakim maupun penegak hukum lainya.

 D.            PERMASALAHAN.
                Dalam menemukan hukum maupun bagaimana caranya menemukan hukum secara normatif tidak ada petunjuknya, tidak ada pula undang-undang yang mengaturnya. Langkah menemukan hukum diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan atau kebebasan hakim.
                Namun pada sisi yang lain dengan berlakunya azas  legalitas, hakim sebenarnya dilarang mengisi kekosongan undang-undang, oleh karenanya hakim dilarang menciptakan peraturan yang berlaku dan mengikat secara umum. Hakim pidana tidak sebebas hakim perdata dalam hal menemukan hukum, hakim pidana dilarang menerapkan penafsiran “ argumentum a contrario” dan “argumentum peranalogiam”.
                Terdapat beberapa prinsip umum yang terkait dengan azas legalitas, antara lain :
1.             Prinsip “ nullum crimen, noela poena sine lege praevia” artinya; tidak  ada perbuatan pidana tanpa adanya undang-undang sebelumnya, konsekwensinya tidak berlakunya azas retroaktif.
2.             Prinsip “ nullum crimen, noella poena sine lege scripta” artinya ; tidak ada perbuatan pidana tanda adanya undang-undang yang dibuat secara tertulis. Konsekwensinya semua ketentuan pidana harus tertulis. Semua perbuatan ang dilarang maupun ancaman pidanya harus tertulis secara expressive verbis dalam undang-undang.
3.             Prinsip “ nullum crimen, noella poena sine lege certa ” artinya; tidak ada perbuatan pidana tanpa adanya aturan undang-undang yang jelas. Konsekwensinya adalah setiap rumusan perbuatan pidana harus jelas undang-undang, tidak multitafsir sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum.
4.             Prinsip “ nullum crimen, noella poena sine lege stricta ” artinya; tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang diatur secara ketat. Konsekwensinya secara implisit tidak diperbolehkannya analogi.
                  Pinsip-prinsip tersebut di atas sangat menghalang-halangi hakim dalam menemukan hukum. Hal tersebut dipertegas dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu yang menyatakan tugas hakim dalam konteks hukum pidana hanyalah “ qui pronounce  les paroles de la loi ” ( hakim hanya sebagai corong undang-undang).
               
                  Meskipun demikian dalam menghadapi perkembangan jaman melalui kemajuan tehnologi, masih adakah jalan bagi hakim dan penegak hukum lain untuk menemukan hukum ketika dihadapkan pada suatu fakta yang mana secara nyata  merupakan pelanggaran terhadap norma.

 E.             PEMBAHASAN.
                Persoalan terbesar penemuan hukum dalam hukum pidana adalah bagaimana cara menemukan hukum tersebut. Dalam menemukan hukum terdapat dua unsur penting yang harus diperhatikan yaitu:
1.             Hukum atau sumber hukum, hal ini dapat diperoleh dari;
                a.             doktrin,
                b.             yurisprudensi,
                c.             perjanjian,
                d.             kebiasaan.

2.             Fakta.
                Sebelum hukum diterapkan  pada peristiwa yang konkrit terlebih dahulu harus menetapkan apa sesungguhnya yang menjadi situasi faktual sebagai penemuan suatu kebenaran, kemudian situasi faktual tersebut dapat dipandang sebagai relevan secara yuridis. Penemuan suatu kebenaran dalam peradilan pidana mengimplikasikan bahwa hakim memandang peristiwa yang didakwakan terbukti didasarkan pada isi dan alat-alat bukti yang SAH. Berdasarkan itulah maka hakim memperoleh suatu keyakinan bahwa fakta-fakta yang dikemukakan dalam dakwaan, dalam kenyataannya sungguh-sungguh terjadi. Jadi hakim harus bersifat aktif dalam menemukan kebenaran fakta-fakta tersebut ( mencari dan menemukan kebenaran materiil). Hal ini sangat berbeda dalam konteks peradilan perdata dimana hakim bersifat pasif karena hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak yang melandasi gugatan.
Cara menemukan hukum dapat dilakukan dengan jalan melakukan penafsiran atau analogi. Adapun tehnik melakukan penafsiran dapat berpedoman pada pendapat para ahli maupun dengan memahami asas-asas umum tentang penafsiran.
Menurut Jonkers ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penafsiran yaitu:
1. Jika kata-kata sudah jelas, maka yang berlaku adalah kata itu, bukan maksudnya. Harus diingat bahwa hakimlah yang menilai apakah suatu kata itu sudah jelas ( Is het word duidelijk dan geldt het word en niet de bedoeling. Hierbij moet worden bedacht, dat het de rechter is, die beoordeelt of een word duidelijk is),
2.  Jika kata-kata tidak jelas, namun dapat diartikan berbeda-beda, maka yang dipilih adalah kata-kata yang sesuai dengan tujuannya (Is het word niet duidelijk, maar voor verschillenden uitleg vatbaar, dan gaat boven het word de bedoeling).
3.  Jika kemungkinan penjelasan berbeda-beda, maka yang dipilih adalah kata-kata yang tidak mempunyai akibat apapun ( bij de mogelijkheid van verschillenden uitleg gaat de opvatting, die aan de woorden zin geeft boven die, welke geenerlei effect  heelf ).

                  Sedangkan asas-asas umum tentang penafsiran yang bisa dipedomani dalam proses menemukan hukum dalam hukum pidana dapat diuraikan sebagai berikut :
1.               Asas “ proporsionalitas” dan ” asas subsidiaritas”.
                  Dua asas ini merupakan asas utama yang saling terkait dalam prinsip regulasi/mengatur suatu penafsiran dalam upaya menemukan hukum. Asas proporsionalitas adalah asas mencari keseimbangan terhadap suatu undang-undang yang bertitik tolak dari keseimbangan antara cara dan tujuan dari dibentuknya sebuah undang-undang. Sedangkan asas subsidiaritas diperguanakan jika menghadapi suatu persoalan yang sulit dan menimbulkan beberapa alternatif pemecahan, sehingga kita harus memilih pemecahannya, jika demikian kemungkinannya maka digunakan penafsiran yang paling sedikit menimbulkan kerugian.
2.               Asas “ relevansi “ dalam hukum pidana, yaitu keberlakuan hukum pidana yang hanya menekankan adanya persoalan penyimpangan perilaku social yang patut mendapat reaksi, sanksi dan koreksi dari sudut pandang hukum pidana. Asas ini mendasari pada fungsi umum hukum pidana sebagaimana yang disampaikan oleh Vos “….hukum pidana adalah untuk melawan kelakuan-kelakuan yang tidak   normal  “ ( …het strafrecht zicht tegen min of meer abnormal gedragingen ).
3.               Asas kepatutan (menurut Marten Luther), asas yang dalam hal menguji logika yuridis lebih mengedepankan rasa kepatutan yang berkembang ditengah masyarakat.
4.               Asas “in dubio pro reo”, maksud asas ini adalah jika terdapat keraguan dalam membaca suatu ketentuan hukum, maka kita harus memilih ketentuan atau penjelasan yang paling menguntungkan terdakwa. Asas ini ditentang oleh Pompe dengan mengatakan ; “…berdasarkan karakter hukum pidana dan hukum acara pidana sebagai hukum public, jika ada keragu-raguan tentang sesuatu, penuntut umum dan hakim berusaha menghilangkan keragu-raguan itu dengan penyelidikan. Setelah penyelidikan yang luas tentang perkara tersebut, masih tidak pasti, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah (…..wegen het publiekrechtelijke karakter van strafrecht en strafprocesrecht beide dienen bij aanvankelijke onzekerheid de vervolgende ambtenaar en de rechter zelf er naar te striven deze onzekerheid door onderzoek op te heffen. Ook na uitgebreid en nauwkeurig onderzoek kan de zaak echter onzeker blijven, en dan volgts strafbaarverklaring van de verdachte).
5.               Asas “ exeptio format regulam “ ( exception frimat vim legis in casibus non exeptis ), maksud asas ini adalah jika terdapat aturan khusus yang menyimpang terhadap aturan umum, maka penyimpangan tersebut harus diartikan secara sempit. Sebagai contoh dalam perkembangan hukum pidana banyak melahirkan perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana dalam suatu peraturan di luar undang-undang yang telah dikodifikasi. Seringkali peraturan tersebut memuat aturan menyimpang dari aturan yang umum, baik secara materiil maupun formil. Jika demikian maka penyimpangan itu harus diartikan secara sempit dalam pengertian khusus terhadap perbuatan pidana yang diatur dalam peraturan yang belum dikodifikasi tersebut.
6.               Asas “titulus est lex” dan “rubrica  est lex”, yang pertama diartikan : “ judul perundang-undangan yang menentukan “ dan kedua diartikan : “ bagian dari perundang-undanganlah yang menentukan”. Sebagai contoh tindakan aborsi hanya dapat dipidana jika dilakukan terhadap janin/kandungan yang telah bernyawa, bukan terhadap janin/kandungan yang belum bernyawa. Hal ini disebabkan karena KUHP memasukan tindakan aborsi sebagai bagian dari kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa. Jadi bagian yang menentukan dari kejahatan aborsi  adalah kejahatan terhadap nyawa.
7.               Asas materiil  berkaitan dengan aturan tidak tertulis yang merujuk pada tatanan sosial etis dan cita-cita/idealism hukum tertentu. Dalam asas ini terkandung makna bahwa pada saat melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, hakim harus memperhatikan asas tersebut sepanjang telah diakui dalam hukum dengan dibuktikan berdasarkan doktrin atau yurisprudensi.  Asas ini terkait dengan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif maupun sifat melawan hukum dalam fungsinya yang positif.
                  a.        Sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif diartikan: bahwa meskipun suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, jika menurut pandangan hidup masyarakat perbuatan itu bukan merupakan perbuatan tercela berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, maka perbuatan itu tidak dijatuhi pidana, sebagai contoh putusan Mahkamah Agung RI no: 42 K / Kr / 1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam kasus penyalah gunaan DO Gula di PN Singkawang.
                  b.        Sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif diartikan : bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik jika perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh putusan Mahkamah Agung RI no: 275 K/Pid/1982 tanggal 15 Desember 1983, dalam kasus korupsi di Bank Bumi Daya.
                  Hal lain yang harus diperhatikan dalam proses penemuan hukum adalah dengan menggunakan metode penafsiran, metode penafsiran yang bersifat umum dan sering digunakan antara lain sebagai berikut :
1.               Interpretasi gramatikal, yaitu : makna ketentuan undang-undang yang ditafsirkan dengan cara menguraikannya menurut bahasa umum sehari hari. Sebagai contoh putusan Hoge Raad 30 Januari 1996 NJ 1996.23 berkenaan dengan pengertian “mayat” menurut pasal 151 WvS yang menafsirkannya menurut kamus besar bahasa Belanda bahwa mayat itu tidak harus dipahami sebagai jenasah dari seorang manusia yang sedemikian lengkap namun juga badan tanpa kepala, tangan dan kaki.
2.               Interpretasi sistimatis/logis, yaitu: menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan cara menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistim hukum yang ada. Penafsiran ini tidak hanya mengacu pada pasal yang ada tetapi harus melihat pasal yang lain dalam undang-undang yang sama atau undang-undang lainya, bahkan sistim hukum yang ada secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.
3.               Interpretasi historis, yaitu : menafsirkan makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang-undangan, mencari pertautan pada penulis-penulis dfalam konteks kemasyarakatan di masa lampau.
4.               Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu : menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentukannya dari bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut.
5.               Interpretasi komperatif , yaitu : penafsiran dengan membandingkan ketentuan undang-undang di berbagai Negara, terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional.
6.               Interpretasi antisipatif/futuristic, yaitu : penafsiran dengan menggunakan peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku karena masih dalam rancangan undang-undang.
7.               Interpretasi evolutif-dinamis, yaitu : pemaknaan oleh seorang hakim atas dasar perkembangan hukum yang terjadi setelah kemunculan atau diberlakukannya aturan-aturan hukum tertentu. Penafsiran ini digunakan jika terjadi perkembangan pemikiran tentang hukum yang dalam pergaulan kemasyarakatan dicerminkan dari keadaan moralitas tertentu atau dalam perundang-undangan lainnya dari hukum.
8.               Interpretasi kreatif, yaitu : dengan menggunakan interpretasi ini hakim mengungkap satu unsur tertentu yang dianggabnya terkandung dalam suatu rumusan pidana, meskipun unsur tersebut tidak diuraikan secara tegas di dalamnya.
9.               Interpretasi  tradisional, yaitu : menemukan hukum dengan cara melihat suatu perilaku dalam tradisi hukum.
10.            Interpretasi harmoniserende, yaitu : penafsiran yang dipergunakan untuk menghindari disharmoni atau konflik antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
11.            Interpretasi doktriner, yaitu : menafsirkan undang-undang dengan cara memperkuat argumentasi dengan merujuk pada suatu doktrin tertentu.
                   Dalam praktek tehnik penggunaan berbagai interpretasi tersebut dilakukan dengan secara bersamaan, sehingga batasanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan dengan jelas, dengan kata lain pada setiap kegiatan penafsiran terdapat gabungan berbagai unsur misalnya gramatikal, sistimatis, historis maupun teleologis dan sebagainya.

 F.               KESIMPULAN.
                  Berdasarkan apa yang diuraikan di atas maka terdapat beberapa hal yang secara bertahap harus diperhatikan dalam proses penemuan hukum, yaitu :
1.   Adanya suatu peraturan hukum yang bersifat umum.
2.   Adanya peristiwa konkrit yang ditemukan.
3.    Peraturan hukum yang bersifat umum itu kemudian harus diterapkan      terhadap peristiwa konkrit yang ditemukan sebagai wujud penemuan hukum dengan jalan melakukan interpretasi atau analogi.
4.   Penemuan hukum merupakan tugas hakim dalam persidangan yang dimulai dengan pengkonstantiran suatu peristiwa konkrit, mengkualifikasikan peristiwa konkrit yang telah ditemukan menjadi peristiwa hukum.
5. Menjatuhkan  vonis/putusan dengan menerapkan aturan hukum terhadap peristiwa hukum tersebut.
                Adapun prioritas penafsiran mana yang dipergunakan dalam hukum pidana tidak dapat ditentukan secara kaku. Namun bila dilihat dari berbagai yurisprudensi yang ada maka penafsiran yang sering digunakan secara urut adalah: penafsiran teleologis, gramatikal dan sistimatis. Oleh karena itulah maka di dalam hukum pidana, apabila dikaitkan dengan penemuan hukum metode penasirannya cenderung mengarah pada metode penafsiran yang ekstensif.

                Dengan demikian maka antara metode penafsiran ekstensif dengan analogi dalam hukum pidana tidak terdapat perbedaan. Penggunaan analogi dalam hukum pidana sangat cocok untuk  disesuaikan dengan dinamika masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, hal ini sesuai dengan tujuan hukum pidana modern yaitu guna melindungi kepentingan masyarakat dari berbagai tindakan kejahatan.