Selasa, 28 November 2017

KARAKTER HUKUM PEMBUKTIAN.

Sebelum mengulas lebih jauh perihal karakter hukum pembuktian, terlebih dulu perlu dijelaskan hal-hal yang fundamental terkait suatu pembuktian. Ada empat hal terkait konsep pembuktian itu sendiri: pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang diproses. Artinya, bukti tersebut berkaitan dengan fakta-fakta yang menunjuk pada suatu kebenaran adanya suatu peristiwa.
              Kedua , suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu bukti yang diterima dengan sendirinya relevan. Sebaliknya, suatu bukti yang tidak relevan, tidak akan dapat diterima. Namun demikian, dapat saja terjadi suatu bukti relevan, tetapi tidak dapat diterima. Misalnya adalah testimoni de auditu atau hearsay, yakni mendengar kesaksian dari orang lain. Lebih tegasnya, suatu bukti yang dapat diterima pasti relevan, namun tidak sebaliknya, suatu bukti yang relevan belum tentu dapat diterima. Dengan kata lain, primafacie dari bukti yang diterima adalah bukti yang relevan.

              Ketiga, hal yang tersebut sebagai exclusionary rules. Dalam beberapa literatur dikenal dengan istilah exclusionary discretion. Phyllis B. Gerstenfeld memberi definisi exclusionary rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Tegasnya, praturan yang mensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterimadi pengadilan. Terlebih dalam konteks hukum pidana, kendatipun suatu bukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum, bukti tersebut dapat dikesampingkan oleh hakim bilamana perolehan bukti tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan.

              Exclusionary rules membolehkan seorang terdakwa mencegah penuntut umum mengajukan bukti di pengadilan sebagai bukti yang dapat diterima karena diperoleh secara inkonstitusional. Exclusionary rules juga dapat menolak bukti probatif yang konsekuensinya meniadakan tuntutan jaksa. Namun, biasanya setiap sistem hukum mengesampingkan bukti yang telah dipertimbangkan jika bukti tersebut tidak relevan atau tidak dipercaya.

              Keempat, dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim. Dalam konteks yang demikian, kita memasuki kekuatan pembuktian atau bewijskracht. Di sini hakim akan menilai setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.  Tentang bukti yang harus dievaluasi  secara tegas oleh hakim dikatakan oleh Dennis sbb:
“ Ad the end of the contested trial the court will have to evaluate the relevant and admissible evidence is strength of the tendency of the evidence to prove the fact or fact that it was adduced to prove “

              Terkait keempat hal tentang konsep pembuktian, yaitu relevant, admissible, exclusionary rules, dan weight of the evidence, Max M. Houck menyatakan ada dua tipe bukti yang tidak dapat memperkuat suatu kasus. Pertama, jika terjadipertentangan bukti antara satu dengan yang lainyang mana bukti-bukti tersebut berasal dari sumber yang berbeda dan tidak dapat dirujuk. Kedua adalah bukti yang tidak dapat digunakan karena diperoleh secara ilegal yang disebut dengan tainted evidence (bukti yang ternodai). Termasuk dalam tainted evidence adalah derivative evidence atau bukti yang sudah tidak orisinil lagi.

              Bila dihubungkan dengan keempat konsep pembuktian, tainted evidance, demikian pula derivative evidance adalah bukti yang inadmissible atau tidak dapat diterima, meskipun bukti tersebut relevan. Konsekuensi lebih lanjut dengan menggunakan exclusionary rules, hakim dapat mengesampingkan bukti tersebut sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian (weight of the evidance). Tainted evidance berkaitan erat dengan bewijsvoering, yakni cara mengumpulkan, memperoleh, dan menyampaikan bukti ke pengadilan.

              Sedangkan menurut William R. Bell, faktor-faktor yang berkaitan dengan pembuktian adalah sebagai berikut.
·                Bukti harus relevan atau berhubungan. Oleh karena itu, dalam konteks perkara pidana, ketika menyidik suatu kasus biasanya polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperi apa unsur-unsur kejahatan yang disangkakan? Apa kesalahan tersangkah yang harus dibuktikan? Fakta-fakta mana yang harus dbuktikan?

·                Bukti harus dapat dipercaya (reliabel). Dengan kata lain, bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk memperkuat suatu bukti harus didukung oleh buki-bukti lainnya.


·                Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang tidak semestinya. Artinya, bukti tersebut bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta.

·                Dasar pembuktian, yang maksud disini adalah pembuktian haruslah berdasarkan alat-alat bukti yang sah.



·                Berkaitan dengan cara mencari dan mengumpulkan bukti, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.

ARTI PENTING PEMBUKTIAN.

Subekti berpendapat bahwa pembuktian memiliki arti penting dalam suatu persidangan di pengadilan dan hal tersebut diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan. Arti penting pembuktian yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih bersifat universal, baik dalam konteks perkara pidana maupun perdata.
             
Dengan merujuk pada arti kata bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan adanya kebenaran dari suatu peristiwa, saya sendiri berpendapat bahwa arti pentingnya pembuktian adalah upaya untuk mencari kebenaran atas suatu peristiwa. Dalam konteks hukum, arti penting pembuktian adalah mencari kebenaran suatu peristiwa hukum. Yang dinamakan peristiwa hukum sudah barang tentu adalah peristiwa yang mempunyai akibat hukum.
             
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa makna pembuktian dilihat dari persepektif hukum acara pidana adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasihat hukum, semuanya terkait ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa dengan semaunya sendiri dalam menilai alat bukti dan tidak boleh bertentangan dangan undang-undang. Terdakwa tidak diperkenankan mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang.


PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

Oleh: Laksamana Pertama TNI Bambang Angkoso W, SH, MH.
ARTI BEBERAPA ISTILAH PEMBUKTIAN.

              Di dalam kosa kata bahasa inggris, ada dua kata yang sama-sama diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘bukti’ namun sebenarnya kedua kata tersebut memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Pertama adalah kata “evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”. Kata “evidence” memiliki arti, yaitu informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu kayakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruan fakta itu benar. Sementara itu, “proof” adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata proof mengacu kepada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses itu sendiri.

              Hal ini secara jelas disampaikan oleh Ian Dennis:
“Evidence is information. It is informationthat provides grounds for belief that a particular fact or set of fact is true. Proof is a term with a variable meaning. In legal discourses it may refer to the outcome of the process of evaluating evidence and drawing inferences from it, or it may be used more widely to refer to the process itself and/or to the evidences which is being evaluated”.


              Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Dennis bahwa kata evidence lebih dekat kepada pengertian alat bukti menurut hukum positif, sedangkan kata proof  dapat diartikan sebagai pembuktian yang mengarahkan kepada suatu proses. Menurut Max M. Houck, evidence atau bukti dapat didefinisikan sebagai pemberian informasi dalam penyidikan yang sah mengenai fakta yang kurang lebih seperti apa adanya. Sedangkan M. Yahya Harahap tidak mendefinisikan hukum pembuktian, melainkan memberi defenisi pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang –undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan seorang terdakwa.

Asas hukum secara alphabetis


  1. Audi et alteram atau audiatur et altera, adalah bahwa para pihak harus didengar . Contohnya apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja; 
  2. Bis de eadem re ne sit actio atau Ne bis in idem , mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya. Contohnya periksa Pasal 76 KUH Pidana;
  3. Clausula rebus sic stantibus, suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu perjanjian antar negara masih tetap berlaku , apabila situasi dan kondisinya tetap sama;
  • Cogitationis poenam nemo patitur, tiada      seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya;
  • Concubistus facit nuptias , perkawinan terjadi karena hubungan kelamin;
  • De gustibus non est disputandum, mengenai selera tidak dapat disengketakan;
  • Errare humanum est, turpe in errore perseverare, membuat keliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan;
  • Fiat  justitia ruat coelum atau Fiat justitia pereat mundus , sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan;
  • Geen straf zonder schuld, tiada hukuman tanpa kesalahan;
  • Hodi mihi cras tibi, ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat;
  • In dubio pro reo , dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa;
  • Juro suo nemocogitur, tak ada seorangpun yang diwajibkan menggunakan haknya. Contohnya orang yang berpiutang tidak mempunyai kewajiban untuk menagih terus;
  • Koop breekt  geen huur, jual beli tidak memutuskan sewa menyewa, perjanjian sewa menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih tangan. Lebih jelas periksa Pasal 1576 KUH Perdata;
  • Lex dura sed ita scripta atau Lex dura sed tamente scripta, undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian. Contohnya periksa Pasal 11 kitab Undang-undang Hukum Pidana;
Lex niminem cogit ad impossibilis, undang-undang tidak memaksa seorang untuk melakukan suatu yang tidak mungkin. Contohnya periksa Pasal 44 Kitab Undang-undang hukum Pidana; orang yg terganggu/cacat jiwanya tdk dpt dipidana.

Lex posterior derogat legi priori atau Lex posterior derogat legi anteriori, undang-undang yang lebih baru menyampingkan undang-undang yang lama.  Contohnya Undang-undang nomor 14 Tahun 1992 tentang Undang-undang lalu-lintas dan angkutan jalan menyampingkan Undang-undang nomor 13 Tahun 1965;

Lex specialis derogat legi generali, undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya dari pada undang-undang yang umum. Contohnya pemberlakuan kitab Undang-Undang hukum Dagang terhadap Kitab Undang-undang Hukum perdata dalam hal perdagangan;

Lex superior derogat legi inferiori, undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatanya;
  • Matrimonium ratum et non consummatum, perkawinan yang dilakukan secara formal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin. Contohnya yang identiik yaitu dalam perkawinan suku sunda, yang disebut Randa bengsrat;
Melius est acciepere quam facere injuriam, lebih baik mengalami ketidakadilan;
Modus vivendi, Cara hidup bersama;
  • Nemo plus juris transferre potoest quam ipse habet, tak seorangpun dapat mengalihkan lebih banyak haknya dari pada yang ia miliki;
  • Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas ketentuan pidana undang-undang yang telah ada lebih dahulu dari pada perbuatan itu. Asas ini dipopulerkan oleh seorang yang bernama Anselm von Feuerbach. Lebih jelas periksa Pasal 1 Ayat (1) kitab Undang-undang Hukum Pidana;
  • Opini necessitatis, keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan;
  • Pacta sunt servanda, setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik. Lebih jelas periksa pasal 1338 KUH perdata;

ASAS ASAS HUKUM


  • Menurut G.W Paton dalam A Textbook of Jurisprudence adalah “the broad reasen which lies at the base of a rule of law”
  • Menurut J.H.P Bellefroid dalam Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland asas adalah “Aturan pokok (hoofdregel) yang didapatkan dengan generalisasi daripada sejumlah aturan-aturan hukum

  • Bellefroid mengatakan :
    “Asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan aturan yang lebih umum. Asas hukum umum merupakan pengendapan dari hukum positif”.

    SATJIPTO RAHARDJO MENGATAKAN :
    • “Asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. 
    • “Asas hukum adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan hukum.  

    Dari beberapa pendapat tadi kita dapat menyimpulkan, bahwa yang dinamakan asas hukum itu adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis. 

    Senin, 20 November 2017

    Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas

    Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala

    1. Latar Belakang
    “Pada saat undang-undang dibahas dan dibicarakan oleh legaislatif, semua berpendapat sudah baik dan sempurna. Akan tetapi pada saat diundangkan, undang-undang tersebut langsung berhadapan dengan seribu macam masalah konkret yang tidak terjangkau dan tak terpikirkan pada saat pembahasan dan perumusan”. Kenyataan tersebut  disebabkan oleh keterbatasan manusia memprediksi secara akurat apa yang akan terjadi di masa yang akan datang dan kehidupan masyarakat manusia baik sebagai kelompok maupun bangsa (nasional), regional dan internasional mengalami perubahan yang dinamis. Selalu terjadi perubahan masyarakat (social change). Perkembangan dan perubahan merupakan “hukum abadi’dalam sejarah kehidupan manusia.

    Perkembangan model-model kejahatan yang terjadi mengakibatkan diperlukannya sebuah reformasi dan pembaharuan dalam sistem hukum yang ada sehingga bisa sesuai dengan kondisi masyarakat yang cenderung lebih dinamis daripada hukum itu sendiri. Hal ini juga mencakup masalah pengaturan acara pemeriksaan koneksitas adalah sebuah rangkaian permasalahan hukum yang tidak bisa dibiarkan terlalu lama tanpa kejelasan. Karena, permasalahan ini menyangkut kepada permasalahan yang sangat mendasar dalam proses penegakkan hukum, hal ini demi menjamin adanya sebuah kepastian hukum.

    2. Perumusan Masalah
    Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil yang bersifat limitatif dan imperatif, ternyata tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh prajurit TNI yang termasuk yustiabel Peradilan Militer dengan warga sipil yang termasuk yustiabel Peradilan Umum tidak diselesaikan dengan acara pemeriksaan koneksitas melainkan perkaranya diselesaikan secara splitsing oleh masing-masing lingkungan peradilan yaitu Peradilan Militer dan Peradilan Umum, dengan perumusan masalah sebagai berikut :

    Apakah menghasilkan putusan pengadilan batal demi hukum karena hukum acara pidana tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau putusan pengadilan yang dihasilkan tidak batal demi hukum?

    3. Acara Pemeriksaan Koneksitas

    Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh oknum militer atau prajurit TNI bersama-sama dengan orang sipil yang secara yuridis formal harus diadili dalam satu lingkup peradilan umum (Pengadilan Negeri) atau dalam lingkup peradilan militer (Pengadilan Militer). Inilah yang disebut Acara Pemeriksaan Koneksitas yang selengkapnya dirumuskan dalam Bagian Kelima, Pasal 198 sampai dengan Pasal 203 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer atau ada juga pakar hukum menyebutkan dengan Peradilan Koneksitas atau Koneksitas yang selengkapnya dirumuskan dalam BAB XI Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

    Acara Pemeriksaan Koneksitas atau Peradilan Koneksitas atau Koneksitas adalah suatu sistem peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana dimana diantara Tersangka atau Terdakwanya terjadi penyertaan10 (turut serta, deelneming) atau secara bersama-sama (mede dader) antara orang sipil dengan orang yang berstatus militer (prajurit TNI). Menurut Prof Andi Hamzah yang dimaksud dengan Peradilan Koneksitas adalah sistem peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara orang sipil dengan orang militer.

    Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan bahwa peradilan koneksitas pasti menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan oleh orang sipil bersama-sama dengan orang militer yang diatur dalam Pasal 56 dan 56 KUHP. Jika terjadi penyertaan antara orang militer (yang tunduk kepada peradilan militer) dan orang sipil (yang tunduk kepada peradilan umum), maka primus interpares yang berwenang mengadili ialah pengadilan dalam lingkup peradilan umum. 13 Para tersangka (sipil bersama militer) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, merupakan pengecualian. 14 Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah menentukan kewenangan keputusan berada pada Ketua Mahkamah Agung, sedangkan pada ketentuan Pasal 89 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 198 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer berada pada Keputusan Menteri

    Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman. Maksud dan tujuan dari koneksitas memberikan jaminan bagi terlaksananya peradilan koneksitas yang cepat dan adil, walaupun ada kemungkinan proses yang ditempuh ini tidak semudah seperti mengadili perkara pidana biasa. Dengan adanya koneksitas antara kedua kelompok yang berlaian lingkungan peradilannya dalam melakukan suatu tindak pidana, pembuat undang-undang berpendapat, lebih efektif untuk sekaligus menarik dan mengadili mereka dalam suatu lingkungan peradilan saja. Selain maksud dan tujuan diatas, Andi Hamzah menilai pengaturan tentang koneksitas ini memiliki suatu masalah praktis pada birokasi penentuan peradilan yang akan mengadili agak berlarut-larut, sedangkan dalam KUHAP dianut sistem peradilan cepat (speedy trial; contante justitie).

    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, suatu perkara hanya bisa disidangkan sebagai perkara koneksitas jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan telah disetujui oleh Menteri Kehakiman. Belum lagi menunggu hasil pengkajian dari tim penyidik yang dibentuk untuk menentukan apakah perkara masuk lingkungan peradilan umum atau militer, sehingga dapat dibayangkan waktu yang akan diperlukan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Seharusnya masalah ini juga perlu untuk diperhatikan agar maksud dan tujuan dari koneksitas memberikan jaminan bagi terlaksananya peradilan koneksitas yang cepat dan adil dapat terwujud tanpa menyampingkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya.

    Jika tindak pidana penyertaan tersebut yang berwenang mengadili ialah pengadilan dalam lingkup peradilan umum, akan sejalan dengan jika titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Namun ketentuan pengecualian diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, jika titik berat berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.  Kompleksitas silang pendapat dan penentuan titik berat kerugian antara kepentingan umum dengan kepentingan militer pada tahap penyidikan merupakan dinamika permasalahan tersendiri di dalam praktek hukum. Sekalipun hal ini telah diatur secara tegas jika kemudian perbedaan pendapat para penyidik antara penuntut umum dan oditur tersebut, kemudian berlanjut sampai pada perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal, pendapat Jaksa Agung yang menentukan. Upaya untuk mengeliminir perbedaan pendapat penyidik dapat dicegah sedini mungkin, khususnya dalam hal penentuan titik berat kerugian antara kepentingan umum atau kepentingan militer tersebut sebenarnya dapat diakomodir dengan telah diamanatkannya Pembentukan Tim Tetap Pusat dan Tim Tetap Daerah untuk Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas18, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 sebagai berikut :

    “(1) Tim Tetap Pusat bertugas melakukan penyidikan terhadap perkara koneksitas:
            a. apabila perkara dan atau tersangkanya mempunyai bobot nasional dan atau internasional.
         b. apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat lebih dari satu daerah hukum  Pengadilan Tinggi.

    (2) Tim Tetap Daerah bertugas melakukan penyidikan perkara pidana koneksitas,
    sebagai berikut :
      a. dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi:

    1. apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum Pengadilan Negeri, tetapi masih dalam satu daerah hukum Pengadilan Tinggi.
    2. apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.

         b. dalam daerah hukum Pengadilan Negeri:
    apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkkannya terjadi dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
    (3) Ketua Tim Tetap bertugas mengkoordinasikan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh Tim Tetap yang bersangkutan agar dapat berjalan lancer, terarah, berdaya guna dan berhasil guna.
    (4) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas tersebut pada Ayat (3), Ketua Tim Tetap dapat menunjuk para pembantunya dan dengan persetujuan anggota Tim Tetap menunjuk tempat Kantor Sekretaris Tim Tetap.”
    Unsur-unsur Tim Tetap Pusat dan Daerah dalam Pasal 2 Keputusan Bersama tersebut mengatur, sebagai berikut:
    “(1) Tim Tetap terdiri dari dari unsur-unsur :
            a. Pada Tim Tetap Pusat :

    1. Penyidik dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia;
    2. Penyidik dari Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik

    Indonesia pada Pusat Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik
    Indonesia, disingkat PUSPOM ABRI.

    Selasa, 14 November 2017

    PENJATUHAN PIDANA DI BAWAH STRAFMAAT MINIMAL KHUSUS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA PASAL 111 DAN 112 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

    Oleh : Kapten Chk Subiyatno, SH
    (Hakim Militer Gol. VII Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin)

    A. PENDAHULUAN.
    Kejahatan narkotika termasuk extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, sehingga membutuhkan upaya yang luar biasa untuk memberantasnya. Tindak pidana narkotika yang telah bersifat trasnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang terus berkembang telah menimbulkan korban yang begitu luas yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyalahguna Narkotika yang sebagian besar merupakan generasi muda bangsa (kalangan usia produktif) telah pada tahap sangat mengkhawatirkan, sehingga tidak heran pada tahun 2015 Indonesia telah dinyatakan darurat narkoba. Indonesia merupakan Negara terbesar ketiga dalam skala peredaran narkobanya setelah Kolombia dan Meksiko .

    Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini .

    Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan Narkotika maupun peredaran gelap Narkotika Pemerintah dengan persetujuan DPR pada tanggal 12 Oktober 2009 telah mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hal yang khusus dalam undang-undang ini adalah diterapkannya pemberatan sanksi pidana salah satunya dalam bentuk sanksi pidana minimum khusus dengan tujuan untuk memberikan efek jera terhadap para pelakunya.    
    Pasal 111 dan 112 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memuat mengenai lamanya ancaman pidana (strafmaat) berupa penjara dan denda minimum dan maksimum. Sistem penjatuhan pidana seperti ini (dalam Undang-Undang ini) bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana narkotika.

    Dalam pasal 111 yang terdiri dari 2 (dua) ayat memuat ancaman pidana minimum berupa penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) serta ancaman pidana maksimum berupa berupa penjara seumur hidup atau 20 (dua puluh tahun) dan denda maksimum sebagaimana dimaksud ayat 1 ditambah 1/3. Hal sama termuat dalam ancaman pidana dalam pasal 112.

    Bahwa dalam persidangan seringkali Oditur Militer mendakwa dengan pasal 111 atau pasal 112, akan tetapi dalam fakta bersidangan ternyata diketemukan bahwa Terdakwa hanya seorang pemakai dan barang bukti Narkotika yang dimiliki adalah relatif kecil semisal di bawah 1 (satu) gram untuk metampethamin (shabu). Bahwa semestinya Oditur juga mendakwaakan dengan pasal alternatif yaitu pasal 127, akan tetapi justru pasal ini tidak didakwakan oleh Oditur Militer. Mengenai hal ini apakah dalam penjatuhan putusan tetap menerapkan ketentuan pidana minimum khusus ? ataukah ketentuan pidana minimum khusus tersebut dapat disimpangi ? atau justru putusan Majelis Hakim keluar dari surat dakwaan dengan menerapkan pasal 127 atau juga berupa pembebasan ?. Bahwa mengenai hal ini kita harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Mahkamah Agung yang termuat dalam Surat Edaran (SE) yang kemudian dijadikan pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung.
    B. RUMUSAN MASALAH.

    Sistem penjatuhan pidana minimum khusus yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini didasari akan bahaya yang ditimbulkan dari kejahatan narkotika yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korban yang meluas sebagai akibat dari kejahatan narkotika menjadi perhatian yang serius bagi negara tentang bagaimana cara mengatasinya.

    Formulasi penerapan penjatuhan pidana yang menganut sistem minimal khusus harus tepat sasaran. Disamping untuk memberikan efek jera, undang-undang ini memberikan perlindungan bagi pelaku yang dikonotasikan sebagai “korban” yang juga menjadi tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (penyalahguna dan pecandu narkotika)  . Penerapan sanksi hukumnya juga harus tepat dengan melihat tujuan dibentuknya undang-undang itu sendiri.

    JPU/Oditur Militer sering hanya membuat dakwaan tunggal pasal 111 atau 112, yang kadangkala berbeda dengan fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan yang justru lebih mengarah kepada pasal 127. Sebagai contoh seseorang yang saat tertangkap tangan yang bersangkutan kedapatan barang bukti pemakaian untuk sehari yang relatif kecil di bawah 1 (satu) gram untuk metamphetamin (shabu). Barang bukti yang berada dalam penguasaan Terdakwa menjadikan JPU/Oditur Militer lebih mudah menerapkan pasal 112 (bukan pasal 127). Bagaimana Hakim dalam penjatuhan putusannya ?
    Hal ini memberikan pilihan yang sulit bagi Hakim karena harus selalu mendasari kepada dakwaan. Apabila rumusan hukum terpenuhi (unsur memiliki, menyimpan, menguasai dalam pasal 111 atau 112), maka sesuai ketentuan Undang-Undang penjatuhan pidananya harus memperhatikan ketentuan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus. Hal ini sangat dilematis apabila dihadapkan dengan tujuan Undang-undang itu sendiri yang juga bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi pelaku yang dikategorikan sebagai penyalahguna atau pecandu karena harus dijatuhi pidana minimal 4 (empat) tahun . Pada saat tertangkap tangan yang bersangkutan kedapatan Barang bukti pemakaian untuk sehari yang relatif kecil . 
    Dari penjabaran di atas, menimbulkan pertayaan yang dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana penjatuhan pidana di bawah stafmaat minimal khusus dalam pasal 111 dan 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?.

    C. PEMBAHASAN.

    1. Instrumen Hukum Tindak Pidana Narkotika. 

    Masalah penyalahgunaan Narkotika dalam kurun dasawarsa terakhir ini sangat mengkhawatirkan, bahkan sejak tahun 2015 pemerintah menetapkan Indonesia dalam keadaan darurat Narkotika. Hal ini dapat dimengerti mengingat angka penyalahgunaan Narkotika semakin meningkat tiap tahunnya. Pada pertengahan Juni 2015 angka pengguna narkotika mencapai 4,2 juta jiwa dan terus meningkat sampai bulan November 2015 mencapai 5,9 juta jiwa . 

    Sebenarnya mengenai bahaya narkotika tidak hanya menjadi permasalahan bagi bangsa Indonesia akan tetapi sudah merupakan keprihatinan internasional, oleh karena itu kebijakan penanggulangan narkotika di Indonesia selalu disinergikan dan dintegrasikan dengan kebijakan Internasional. Tentu kita masih ingat bahwa Indonesia pernah mengikuti konvensi tunggal tentang narkotika di New York tahun 1961, yang hasil konvensi tersebut diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika sebagai pengganti Verdoovende Middelen Ordonnatie (Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536) yang merupakan peraturan perundang-undang peninggalan Kolonial Belanda yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan perkembangan jaman .

    Instrumen hukum yang dikeluarkan selanjutnya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang ini menghapus pemberlakuan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut . Hal yang perlu dicatat dalam Undang-Undang ini adalah sudah diterapkannya pengaturan tentang minimum pidana khusus seperti dalam ketentuan pidana pasal 78 sampai dengan pasal 83 dan pasal 87 yang pada pokoknya bersifat pemberatan hukumannya yang dapat diterapkan dalam kondisi tertentu semisal perbuatan tersebut diawali dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir atau oleh korporasi. 

    Keberadaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 dalam perkembangannya dirasakan belum memenuhi harapan masyarakat, bangsa dan Negara. Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan banyak korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa, sehingga Undang-undang tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

    Dalam sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika .

    Tindak pidana narkotika yang kecenderungannya terus mengalami peningkatan serta menimbulkan korban yang sangat luas terutama bagi generasi muda harapan bangsa serta untuk pengenaan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika melahirkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Keberadaan Undang-Undang ini sendiri telah mencabut keberadaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan lampiran mengenai jenis psikotropika golongan I dan golongan II dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. 
    Penekanan mengenai efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai adanya pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh tahun), pidana penjara seumur hidup maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan jumlah Narkotika . Pasal-pasal mengenai ketentuan ancaman pidana dalam Undang-Undang ini terdapat dalam pasal 111 sampai dengan pasal 148. 
     
    2. Minimum pidana khusus dalam pasal 111 dan 112 Undang-Undang Narkotika.  

    Narkotika sebenarnya sangat dibutuhkan dalam bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila digunakan dan disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan. Namun demikian masih tetap terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana narkotika baik yang dilakukan secara oleh individu maupun korporasi, padahal instrumen hukum yang mengaturnya sudah sedemikian rupa beratnya.  
    Undang-Undang sendiri tidak menguraikan secara jelas mengenai pelaku tindak pidana narkotika, undang-undang hanya menyebutkan tentang penyalahguna narkotika sebagaimana tertuang dalam Bab I Ketentuan Umum angka 15. Dalam Bab tersebut juga disebutkan istilah tentang pecandu narkotika, ketergantungan narkotika.  

    Pecandu narkotika adalah orang yang penggunakan atau menyalahgunaan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis .

    Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dnegan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas .

    Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum . 

    Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam beberapa pasal telah menerapkan penjatuhan minimum pidana khusus seperti yang terdapat dalam beberapa pasal yaitu pasal 111 s.d. pasal 126, pasal 129, 133, 135 s.d. 137, 139 s.d. 141, 143 s.d 147. Penerapan sistem pidana minimum bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana narkotika. 

    Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sistem pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu untuk delik-delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifikasir oleh akibatnya (Erfolsqualifizierte delikte) sebagai ukuran kuantitatif yang dapat dijadikan patokan bahwa delik-delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun yang dapat diberi ancaman minimum khusus, karena delik-delik itulah yang digolongkan sangat berat .

    Sistem pemidanaan pada tindak pidana narkotika menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana dendanya. Namun dalam pasal tertentu juga menetapkan ancaman pidana maksimum saja seperti yang diatur dalam KUHP (semisal pasal 127, 131, 134 dan 138). Maksimum khusus pidana penjara dalam tindak narkotika yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 tahun. Dalam menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum 15 (lima belas) tahun yakni 20 (dua puluh tahun) diperbolehkan dalam KUHP dalam hal apabila terjadi pengulangan atau perbarengan (karena dapat ditambah sepertiganya) atau tindak pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati semisal dalam pasal 104, 340, 365 ayat 4 KUHP. Dalam tindak pidana narkotika ancaman maxsimum khusus untuk paling lama 20 (dua puluh) tahun tidak harus dengan pengulangan atau perbarengan, tetapi sudah ditentukan dalam pasal tertentu seperti dalam pasal 114. Sedangkan untuk ketentuan pidana minimum umum dalam KUHP adalah 1 (satu) hari . Hal ini berbeda dengan ketentuan pidana minimal khusus dalam Undang-Undang Narkotika yang yang sudah ditentukan dalam bunyi pasalnya seperti pidana minimal khusus selama 4 (tahun) untuk pasal 111 atau pasal 112. 

    Bahwa dalam pembahasan kali ini akan menguraikan tentang penerapan sistem pidana minimum dalam pasal 111 dan pasal 112 dikaitkan dengan bagaimana penjatuhan pidana dalam putusan pengadilan. Ketentuan pasal 111 dan 112 menyebutkan sebagai berikut :
    Pasal 111 

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 112

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
    Bahwa dalam pasal tersebut dapat ketentuan minimum khusus sebagai berikut :
    Pasal Pidana penjara dan Denda minimum Pidana penjara dan Denda maxsimum
    111 ayat (1)

    111 ayat (2) 4 tahun dan 800 juta rupiah
    5 tahun dan denda ayat 1 ditambah 1/3 12 tahun dan denda 8 milyar rupiah
    seumur hidup atau 20 tahun dan denda ayat 1 ditambah 1/3
    112 ayat (1)

    112 ayat (2) 4 tahun dan 800 juta rupiah
    5 tahun dan denda max ayat 1 ditambah 1/3 max 12 tahun dan 8 milyar rupiah
    seumur hidup atau 20 tahun dan denda max (ayat 1) ditambah 1/3
     
    3. Penjatuhan Putusan Hakim

    Dalam memeriksa dan memutus suatu perkara Hakim selalu mendasarkan kepada dakwaan Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer. Hal ini menegaskan bahwa dakwaan memiliki tempat yang penting karena disamping menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan, juga menjadi dasar bagi hakim dalam memutus perkara yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan hakim terbatas pada apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer. Pasal 182 ayat (4) KUHAP dan pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menegaskan bahwa dalam pelaksanaan musyawarah untuk pengambilan suatu keputusan harus mendasari kepada surat dakwaan. 

    Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang .

    Musyawarah tersebut pada ayat (1) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang .

    Bahwa dalam rumusan hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung yang dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 7 tahun 2012 dalam rumusan bidang Pidana ditegaskan dalam salah satu poinnya bahwa Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tetap berpedoman pada surat dakwaan .

    Bahwa seringkali Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer dalam membuat surat dakwaan tidak sesuai dengan fakta persidangan yang muncul, Hal ini menimbulkan dilema bagi Hakim dalam memutus perkara disatu sisi harus memutus berdasarkan dakwaan, akan tetapi fakta persidangan berkata lain.
    Bahwa sering kali Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer menghadapkan terdakwa dengan dakwaan tunggal melanggar pasal 111 atau pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman (pasal 111) atau bukan tanaman (pasal 112). Fakta persidangan menunjukkan Terdakwa tersebut menguasai atau memiliki narkotika golongan I baik dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman yang dipergunakan sendiri dan dalam jumlah yang relatif sedikit. Pengertian relatif sedikit tentunya mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 yang pada saat tertangkap tangan menyatakan ukuran pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain untuk ganja seberat 5 (lima) gram atau metamphetamin (shabu) sebesar 1 (satu) gram. 

    Lebih jelasnya dapat dilihat dalam rumusan pasal 111 ayat (1) yaitu : “Setiap orang yang hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) .

    Dalam ayat (2) menyebutkan : Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) .

    Sedangkan rumusan dalam pasal 112 ayat (1) adalah sebagai berikut : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) .”

    Dalam ayat (2) menyebutkan : “Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)” .

    Akan tetapi pada kenyataannya Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer tetap mendakwa dengan dakwaan tunggal pasal 111 atau pasal 112 saja, dan bukan dakwaan alternatif dengan menambahkan pasal 127 didalamnya. Menghadapi persoalan semacam ini bagaimana tanggapan Majelis Hakim dalam Putusannya?.
    Dalam membuat surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer seringkali menggunakan pasal 111 maupun pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk mendakwa pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dengan barang bukti yang ditemukan pada saat penangkapan diperkirakan cukup untuk dipakai sehari (mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010) . 
    Dengan menggunakan pasal 111 atau pasal 112 terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut, maka akan mengakibatkan para penyalahguna narkotika tersebut akan dipidana minimal 4 (empat) tahun penjara ditambah dengan denda yang apabila tidak dibayar, maka akan diganti dengan hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti denda yang tidak dapat dibayar .

    Formulasi pasal 111 dan 112 yang menggunakan kata-kata “memiliki, menyimpan, menguasai,” yang memungkinkan setiap pelaku penyalahguna narkotika terjerat dengan ketentuan kedua pasal tersebut, apabila JPU/Oditur Militer hanya menerapkan dakwaan tunggal 111 atau 112 saja. Penerapan ketentuan Pasal 127 mengenai dalam keadaan bagaimana dan kriteria seseorang dapat dikatakan sebagai penyalahguna atau pemakai narkotika sebenarnya sering diabaikan JPU/Oditur Militer, sehingga lebih mudah dan praktis bagi Jaksa/Oditur hanya dengan mendakwa dengan dakwaan tunggal saja (pasal 111 atau 112). Hal ini mengakibatkan banyaknya penyimpangan dalam penerapan pasal 127, sehingga orang yang seharusnya dihukum sebagai pemakai malah dikenakan pasal dengan kategori memiliki atau menguasai yang mengakibatkan penjatuhan hukuman yang tidak tepat sasaran dimana seseorang tersebut seharusnya hanya dikenai ancaman maksimal sampai 4 (empat) tahun (dalam pasal 127), akan tetapi malah didakwa dengan pasal 111 atau 112 yang ancaman hukumnya penjara minimal khusus 4 (empat) tahun.
    Bahwa dalam putusan dalam tingkat kasasi sering ditemui beberapa perbedaan sikap Hakim Agung terkait hal tersebut. Ada yang menyimpangi dakwaan dengan memutus dengan pasal 127 (yang tidak didakwakan) dan ada juga yang tetap menerapkan penjatuhan putusan mendasari Surat Dakwaan (yang artinya tetap memutus sesuai pasal 111 atau 112), akan tetapi mengenai penjatuhan pidananya di bawah (staafmaat) minimal khusus, bahkan ada yang justru membebaskan Terdakwa.
    Mahkamah Agung dalam Putusannya Nomor 2089 K/Pid.Sus/2011 justru dalam kasus seperti ini pernah membebaskan seorang Terdakwa, karena dalam fakta persidangan Terdakwa terbukti merupakan penyalahguna (pasal 127) dan tetapi Terdakwa hanya didakwa dakwaan tunggal pasal 112. Pasal 127 tersebut tidak didakwakan oleh JPU, sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung untuk membebaskan Terdakwa. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan pengadilan negeri yang sebelumnya dikuatkan pengadilan tinggi yang menghukum terdakwa dengan pasal penyalahguna (pasal 127) yang tidak didakwakan Penuntut Umum . 

    Namun satu hal yang khusus dalam putusan ini ada salah satu Hakim Agung yang berbeda pendapat (dissenting opinion), dengan salah satu pertimbangannya adalah perbuatan Terdakwa sebelum atau pada saat menghisap shabu-shabu dapat diartikan telah menguasai shabu-shabu tersebut. Tidaklah mungkin Terdakwa dapat menghisap shabu-shabu tersebut walaupun sebentar tanpa menguasai shabu-shabu tersebut terlebih dahulu. Arti menguasai dalam unsur ini harus diartikan secara luas termasuk pada saat ia menghisap, yang kemudian berpendapat Terdakwa tetap dapat dinyatakan terbukti atas pasal yang didakwakan namun dengan hukuman yang jauh dibawah ancaman minimumnya . 
       
    Bahwa mengenai hal ini (dakwaan tunggal pasal 111 atau 112 tetapi fakta di persidangan memenuhi rumusan pasal 127 yang tidak didakwakan) telah menjadi salah satu pembahasan permasalahan hukum (questions of law) dalam dalam rapat Pleno Kamar Bidang Pidana pada tanggal 9 s.d 11 Desember 2015 yang diselenggarakan di Hotel Mercure. Dalam rapat pleno dalam salah satu poinnya disepakati apabila Jaksa mendakwa dengan pasal 111 atau 112, namun berdasarkan fakta hukum persidangan terbukti pasal 127 (pasal ini tidak didakwakan), maka Hakim memutus sesuai Surat Dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.

    Hasil Rapat Pleno ini kemudian dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

    Lebih jelasnya dapat kami kutip dalam salah satu rumusan hukum Kamar Pidana dalam poin 1 tentang narkotika yaitu : “Hakim memeriksa dan memutus perkara harus berdasarkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (pasal 183 ayat 3 dan 4 KUHAP). Jaksa mendakwa dengan pasal 111 atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan Terdakwa terbukti pemakai yang jumlahnya relatif kecil (SEMA Nomor 4 tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai Surat Dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup” .

    Bahwa pada dasarnya rumusan hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding .

    Bahwa rumusan hukum tersebut telah menghilangkan kebimbangan bagi Hakim dalam memutus perkara terutama mengenai dakwaan tunggal pasal 111 atau 112, sedangkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan adalah pasal 127. Yang pada pokoknya sepanjang pada saat tertangkap tangan barang bukti narkotika yang ditemukan untuk pemakaian hari itu relatif kecil (berpedoman pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010), maka dapat diterapkan panjatuhan pidana di bawah stafmaat minimal khusus dengan tetap mendasari pada dakwaan terpenuhinya rumusan unsur pasal 111 atau 112 tersebut. 
     
    D. KESIMPULAN 

    Bahwa JPU/Oditur Militer memiliki kewenangan dalam membuat surat dakwaan dan dakwaan tersebut menjadi dasar dalam pemeriksaan persidangan. Hakim dalam memeriksa suatu perkara harus selalu berpedoman dalam dakwaan.

    Bahwa seringkali JPU/Oditur Militer membuat dakwaan tunggal pasal 111 atau 112, padahal fakta persidangan berkata lain (seharusnya pasal 127). Dalam hal ini akan timbul ketidakadilan, dimana Terdakwa yang semestinya sebagai pemakai, tetapi baginya diterapkan pasal 111 atau 112 yang dari sisi ancaman hukuman lebih berat, apalagi dalam pasal tersebut mengatur mengenai minimum pidana khusus. Dari sisi kepastian hukum pasal 111 atau 112 yang dalam formulasi rumusan unsurnya menggunakan kata “memiliki, menyimpan, menguasai”  bagi seorang pelaku, akan dengan mudah terpenuhi. Seorang yang menyalahgunakan narkotika/pemakai rata-rata “pasti” akan memenuhi unsur memiliki, menyimpan, menguasai” apabila ditemukan barang bukti narkotika pada dirinya. Sesuai SEMA Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 apabila kedapatan saat tertangkap tangan ditemukan pemakaian untuk satu hari dalam relatif kecil, maka dapat dianggap sebagai penyalahguna yang pada dasarnya merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika itu sendiri, bahkan dan dapat memperoleh rehabilitasi medis maupun sosial. Disini akan terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan itu sendiri, karena sudah pasti rumusan pasal tersebut akan terpenuhi yang apabila diterapkan ancaman minimalnya lebih berat dan ini tentu saja menciderai keadilan sebagai tujuan hukum sendiri. Sekarang kita dihadapkan pada satu pilihan, apakah berada di jalur yang aman dengan menjatuhkan pidana sesuai ketentuan pasal 111 atau 112, atau justru menyimpangi ketentuan stafmaat minimal khususnya. Kita harus memilih antara kepastian hukum atau keadilan itu sendiri. Siapa yang memutuskan tentu saja Hakim itu sendiri !

    Harifin Andi Tumpa (Ketua Mahkamah Agung periode 2009 s.d 2012) mengatakan hakim bisa menjatuhkan hukuman kepada terdakwa di bawah batas minimal yang telah ditentukan dalam undang-undang. Langkah itu dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. "Apa yang ditentukan undang-undang wajib dilaksanakan. Tapi tentu hakim itu bukan hanya corong dari undang-undang melainkan dia juga harus mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat" . 

    Tindakan penjatuhan pidana di bawah stafmaat minimum khusus dalam tindak pidana narkotika pasal 111 dan 112 bukan merupakan suatu pengingkaran terhadap asas nulla poena sine lege (asas legalitas), karena hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan suatu keadilan bagi terdakwa dan masyarakat. Dan apabila terjadi pertentangan antara suatu keadilan dan penegakan hukum, maka rasa keadilan harus lebih diutamakan. Apalagi Mahkamah Agung sudah mengeluarkan rumusan hukum mengenai hal tersebut dalam SEMA Nomor 3 tahun 2015, yang rumusan hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangannya.



    DAFTAR PUSTAKA

    Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002. Hlm.128.

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika

    _______, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika

    _______, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer

    _______, Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

    SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial

    SEMA Nomor  7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Rapat Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

    SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan 

    http://kamparkab.go.id/berita/nasional/jokowi-tak-ada-ampun-untuk-urusan-narkoba.html.  Waktu akses, Senin, 22 Agustus 2016,  08.16 WITA

    https://beritagar.id/index.php/artikel/berita/presiden-jokowi-ingin-pengedar-narkoba-ditembak-di-tempat.  
    Waktu akses, Senin, 22 Agustus 2016,  08.20 WITA

    https://krupukulit.com/2012/10/30/dibebaskannya-penyalahguna-narkotika-akibat-tidak-dimasukkannya-pasal-penyalahguna-dalam-dakwaan/
    Waktu akses, Senin, 22 Agustus 2016,  08.22 WITA

    http://politik.news.viva.co.id/news/read/99507-hakim-boleh-jatuhkan-vonis-di-bawah-aturan. Waktu akses, Senin, 22 Agustus 2016,  08.30 WITA

    KEPENTINGAN MILITER DALAM PROSES HUKUM PENYALAHGUNA NARKOTIKA

    Oleh:
    Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.*

    Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo dalam kunjungan kenegaraan ke Jerman bulan April lalu menyampaikan dalam sebuah forum resmi bahwa ada sekitar 40 sampai 50 orang meninggal di Indonesia setiap hari akibat penyalahgunaan Narkoba. Jika dihitung dalam rentang waktu satu tahun berarti ada sekitar 18.000 nyawa melayang akibat penyalahgunaan obat-obatan terlarang ini. Korban penyalahgunaan Narkoba berasal dari berbagai kalangan, mulai dari Anggota DPR, Pelajar, mahasiswa dan Pilot. Aparat penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan Petugas Lapas juga banyak yang terlibat. Bahkan Prajurit TNI yang terkenal dengan disiplin dan penegakan hukumnya yang tegas dan keras pun tidak luput dari jangkauan peredaran Narkotika. Angka yang begitu fantastis dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia benar-benar telah berada pada level darurat. Oleh karena itu kita tidak boleh abai dan bertindak seolah-olah korban nyawa 50 orang per hari itu seperti sebuah persoalan biasa.
      
    Penyalahgunaan Narkoba terbukti telah merusak masa depan bangsa di Negara manapun. Daya rusaknya luar biasa. Merusak karakter manusia, merusak fisik dan kesehatan masyarakat, serta dalam jangka panjang berpotensi besar mengganggu daya saing dan kemajuan bangsa. Dengan daya rusak seperti itu, kejahatan narkoba ini bisa digolongkan dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan serius (serious crime). Terlebih, peredaran gelap Narkoba bersifat lintas negara (transnational) dan terorganisir (organized) sehingga menjadi ancaman nyata yang membutuhkan penanganan serius dan mendesak.. Penegakan hukum yang tegas, tidak pandang bulu dan berani sangat dibutuhkan saat ini demi untuk membebaskan bangsa Indonesia dari bahaya Narkoba. 
    Di internal TNI, dalam rangka mendukung program pemerintah, berbagai upaya-upaya pemberantasan gencar dilakukan. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beberapa waktu lalu telah memerintahkan kepada para Pangkotama dan Komandan Satuan jajaran TNI untuk melakukan pembersihan secara serius di kesatuan masing-masing. Prajurit TNI yang terindikasi terlibat peredaran dan penyalahgunaan Narkoba segera didorong untuk diproses hukum dan apabila terbukti akan  dipecat dari dinas militer. Langkah tegas ini diambil oleh Pimpinan TNI untuk menjaga agar postur TNI yang telah dengan susah payah dibangun dapat dipertahankan sehingga selalu berada pada kondisi prima dengan performa terbaik. Selain itu juga untuk memelihara disiplin dan keutuhan pasukan serta memberikan kepastian hukum dan keadilan.

    Penegakan hukum yang dilakukan oleh TNI terhadap penyalahguna Narkotika saat ini dilakukan secara tegas dengan tetap memperhatikan satu asas yang sangat penting dalam penegakan hukum di lingkungan TNI yaitu asas kepentingan militer. Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer disebutkan bahwa dalam proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum. Artinya bahwa dalam menegakkan hukum, kepentingan militer tidak boleh diabaikan. Kepentingan militer harus seimbang dan sejalan dengan kepentingan hukum. Aparat penegak hukum di lingkungan TNI dalam melakukan proses hukum terhadap penyalahguna narkotika tidak boleh hanya melihat dari kepentingan hukumnya saja, kepentingan militer juga harus betul-betul dipertimbangkan. Hakim Militer yang akan memutus perkara-perkara Narkotika tidak boleh hanya melihat persoalan dari kaca mata undang-undang, mereka juga harus selalu mempertimbangkan kepentingan militer dalam putusannya.

    Keinginan Panglima TNI agar Prajurit TNI yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika dipecat dari dinas militer perlu dicermati dan didukung oleh aparat penegak hukum serta diakomodasi dalam putusan pengadilan. Artinya, bila dalam pemeriksaan di Pengadilan, ternyata Prajurit yang didakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika maka hakim harus tegas menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Pemecatan terhadap penyalahguna narkotika sangat beralasan karena dari segi medis, seseorang yang telah mengkonsumsi narkoba tidak siap pakai. Mereka akan mengalami kerusakan jaringan otak, sel-sel saraf dan penurunan daya ingat sehingga kondisi fisiknya tidak prima lagi dan tidak akan mampu melaksanakan tugas pokok secara maksimal. oleh karena itu, penyalahguna dipandang tidak layak lagi untuk dipertahankan dalam kalangan militer sehingga akan lebih bermanfaat bagi TNI bila Prajurit yang bersangkutan dipisahkan dari kesatuannya dengan jalan pemecatan guna menjamin tegaknya hukum dan disiplin, serta terpeliharanya moril satuan agar setiap saat siap digunakan atau dikerahkan melaksanakan tugas Operasi Militer.

    Tuntutan untuk memecat Prajurit yang terlibat narkoba seyogianya tidak dimaknai sebagai bentuk intervensi pimpinan TNI terhadap proses peradilan. Ini semata-mata dilakukan untuk menjaga tetap tegaknya asas kepentingan militer dalam  penegakan hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang sendiri. Panglima TNI memiliki kepentingan strategis untuk memperjuangkan asas kepentingan militer dalam proses peradilan agar kepentingan penegakan hukum berjalan seimbang dan seirama dengan kepentingan pertahanan negara. Dengan demikian, aparat penegak hukum harus mampu menempatkan diri dengan baik dalam proses penegakan hukum agar mampu menegakkan hukum dan keadilan tanpa merugikan kepentingan militer. Para penyidik, oditur maupun hakim harus bisa memaknai kepentingan militer dalam penegakan hukum secara proporsional. Jangan sampai kepentingan militer diabaikan dan penegak hukum malahan menjadi penghalang bagi TNI itu sendiri dalam melaksanakan tugasnya. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa kepentingan militerlah yang menjadi pangkal pemikiran mengapa di negara kita dibentuk peradilan militer yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum.

    Pidana tambahan pemecatan dari dinas militer terhadap penyalahguna Narkotika sangat diperlukan karena tuntutan kepentingan militer dalam penegakan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun demikian, perlu juga untuk dipertimbangkan mengenai rehabilitasi medis terhadap para pelaku pasca pemecatan. Dari segi hukum, pecandu atau penyalahguna Narkotika adalah pelaku tindak pidana dan juga sekaligus sebagai korban. Disebut pelaku tindak pidana karena menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, setiap penyalahguna Narkotika diancam dengan pidana penjara yang bervariasi mulai dari 1 tahun sampai paling lama 4 tahun, tergantung narkotika golongan berapa yang digunakan. Di sisi lain, dalam kondisi tertentu para penyalahguna ini juga didudukkan dan dipandang sebagai korban peredaran gelap narkotika yang wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dua sisi ini harus menjadi perhatian dalam penegakan hukum di TNI agar tujuan dari pemidanaan dapat tercapai. 

    Dalam praktek selama ini, sebagian Prajurit TNI yang dipecat dari dinas militer karena menyalahgunakan narkotika tidak ditindaklanjuti dengan rehabilitasi medis sehingga mereka kembali ke masyarakat masih dalam kondisi tidak normal, belum pulih dari ketergantungan narkotika. Praktek seperti ini tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan jaman sekarang yang lebih bertujuan agar Terdakwa menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Prajurit TNI yang dipecat dari dinas militer dan dibiarkan terjun bebas ke masyarakat dalam kondisi masih ketergantungan narkotika tanpa adanya pengawasan dan pengendalian dari otoritas TNI akan sangat membahayakan karena mereka memiliki keahlian-keahlian khusus yang didapatkan pada saat masih berdinas aktif. Pecatan TNI ini dapat direkrut untuk bergabung dengan para Bandar atau pengedar narkotika dan keahliannya dimanfaatkan untuk mendukung bisnis haram mereka.

    Selanjutnya, bertitik tolak dari kerangka pemikiran di atas, kedepannya harus ada semacam rekonstruksi dan penataan kembali proses penegakan hukum di lingkungan Peradilan Militer sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Ada beberapa rekomendasi melalui tulisan ini yang dapat dijadikan saran atau masukan kepada Pimpinan TNI untuk menetapkan satu regulasi dalam penegakan hukum berkaitan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika sebagai berikut;
    Pertama, demi menegakkan asas kepentingan militer dalam penegakan hukum, Prajurit TNI yang terbukti sebagai penyalahguna narotika harus dipecat dari dinas militer untuk menjaga tetap tegaknya disiplin, kewibawaan hukum dan kesiapsiagaan satuan namun tindakan pemecatan tersebut harus ditindaklanjuti dengan upaya rehabilitasi medis. Tindakan rehabilitasi ini juga sejalan dengan sejumlah Putusan Mahkamah Agung RI yang memerintahkan rehabilitasi terhadap Prajurit TNI penyalahguna narkotika. Lebih konkritnya, dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer kepada Prajurit yang masih dalam kondisi ketergantungan narkotika, dalam amar putusan juga harus memuat perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa dengan menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dan menetapkan lamanya waktu menjalani rehabilitasi tersebut.

    Kedua, untuk menindaklanjuti proses rehabilitasi sebagaimana tertuang dalam rekomendasi pertama, TNI perlu membangun sebuah pusat rehabilitasi medis untuk memulihkan kondisi kesehatan dan kejiwaan Prajurit TNI yang telah dipecat agar pada saat dikembalikan ke masyarakat, mereka telah benar-benar siap dan dapat melanjutkan kehidupan dan pengabdian di luar TNI. Hal ini perlu dilakukan mengingat panti rehabilitasi yang ada saat ini masih sangat kurang sementara kebutuhan rehabilitasi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pembangunan pusat rehabilitasi narkotika TNI ini juga sebagai wujud dukungan terhadap program pemerintah untuk menyukseskan gerakan rehabilitasi masif yang menjadi target nasional. Selain itu, juga untuk menghindari kesan bahwa TNI cuci tangan terhadap Prajuritnya yang terlibat narkotika. Setidaknya, dengan langkah tersebut, ada suatu bentuk tanggung jawab TNI untuk memulihkan kondisi prajurit penyalahguna narkotika dan mengantar mereka melewati fase transisi sebelum dikembalikan ke masyarakat sehingga tidak menjadi beban otoritas sipil.

    Ketiga, pemberantasan narkotika di lingkungan TNI harus melibatkan berbagai pihak. TNI harus terbuka dan bisa bekerjasama dengan Kepolisian, BNN dan institusi terkait lainnya karena tidak tertutup kemungkinan Para pelaku kejahatan Narkotika yang berasal dari unsur TNI bekerja sama dengan masyarakat sipil. Dengan adanya sinergitas antar insitusi, akan lebih memudahkan untuk membongkar sindikat peredaran narkotika yang semakin marak terjadi saat ini.

    Demikian tulisan singkat ini disusun, diakhiri dengan tiga rekomendasi, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi Pimpinan TNI dalam menentukan kebijakan dan menyusun peraturan terkait dengan pemberantasan tindak pidana narkotika di masa mendatang. Semoga TNI semakin hari semakin bersih dari narkoba dan dapat fokus dalam membela, mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


    * Penulis menyelesaikan studi S-1 Hukum pada Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Jakarta  Tahun 2013, saat ini menjabat sebagai Perwira Staf bidang Perundang-Undangan dan Pengolahan Perkara Korem 152/Babullah.