Oleh
: Laksamana Pertama TNI Bambang Angkoso S.H., M.H.
A. UMUM.
Penemuan
hukum sangat berbeda dengan penerapan hukum. Dalam penemuan hukum ditemukan
sesuatu yang baru yang dapat dilakukan, baik melalui penafsiran, analogi,
maupun dengan penghalusan hukum.
Dalam proses menemukan hukum
hal yang penting harus dipahami adalah sistim hukum, dimana langkah awal untuk
menemukan hukum harus dalam koridor sistim hukum, sedangkan sistim hukum itu sendiri
terdapat tiga komponen meliputi: Struktur, Substansi dan Kultur Hukum.
Struktur hukum meliputi
keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya : Polisi,
Jaksa dan Hakim. Sedangkan Substansi hukum adalah; keseluruhan aturan hukum, norma
hukum dan asas hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk
diantaranya putusan-putusan pengadilan. Adapun kultur hukum meliputi
opini-opini, kepercayaan kepercayaan, kebiasaan kebiasaan, cara berfikir dari
warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan
hukum.
Ketika seorang penegak hukum
melakukan kewajibanya ternyata perkara
yang ditanganinya merupakan perbuatan yang belum diatur secara spesifik oleh
suatu ketentuan sedangkan norma hukumnya membatasi hakim untuk menemukan
hukumnya, apa yang dilakukan oleh poenegak hukum tersebut?
Kendala
tersebut bisa saja terjadi karena menurut Paul Scholten “ adalah sesuatu yang
khayal apabila orang beranggapan bahwa suatu uandang-undang itu telah mengatur
segalanya secara tuntas “. Masih menurut Scholten “ Het recht is er, doch het moet worden
gevonden “ ( hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan)
Menurut
Sudikno Mertokusumo lazimnya penemuan hukum itu adalah proses pembentukan hukum
oleh hakim atau aparat hukum lainya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan
hukum umum pada peristiwa konkrit. Dengan kata lain penemuan hukum itu adalah
proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum
dengan mengingat peristiwa konkrit tertentu.
Terdapat
sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, bahwa “ Het recht hinkt achter de feiten aan” yang artinya : “ Hukum
itu selalu tertinggal dari peristiwanya “, ungkapan ini pada jaman sekarang
masih berlaku karena dalam perkembangan zaman, tidak tertutup
kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum
terpikirkan pada saat hukum pidana itu dikodifikasikan dalam sebuah kitab
undang-undang. Seiring dengan perkembangan jaman pula, banyak kejahatan
konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin bertambah
canggih, sehingga dalam proses beracara sangat diperlukan bagi hakim dan para
penegak hukum lain suatu tehnik atau prosedur dalam mengungkap kejahatan dan
mencari kebenaran materiilnya.
Ketika
hukum itu tertinggal jauh dari peristiwanya, dan peristiwa itu nyata-nyata
merupakan sebuah kejahatan yang meresahkan masyarakat, maka peristiwa tersebut
harus dimajukan di meja persidangan, dalam pemeriksaan persidangan ternyata
peristiwa sebagaimana dimaksud belum diatur oleh suatu hukum pidana yang telah
terkodifikasi, apakah hakim harus menolaknya karena hukumnya belum ada?
B. RUANG
LINGKUP.
Dalam
penulisan ini focus pembahasannya adalah mencari bagaimana mekanismenya dalam
hal hakim menemukan hukum (bukan menerapkan hukum) ketika mengadili suatu
perkara yang ternyata peristiwanya itu belum diatur dalam sebuah kitab
undang-undang. Penemuan hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah baik
atas bidang hukum materiil maupun bidang hukum formilnya (hukum acaranya).
C. MAKSUD
DAN TUJUAN.
Metode
interpretasi/penafsiran sebagai salah satu cara dalam menemukan hukum dibatasi
oleh asas legalitas secara ketat, tetapi penemuan hukum yang pada hakekatnya
adalah proses pembentukan hukum oleh hakim (judge made law) adalah sangat
penting dalam hal hakim atau penegak hukum lain menghadapi suatu peristiwa
pidana yang belum ada hukumnya. Oleh karena itu setiap penegak hukum khususnya hakim
dituntut harus menguasai bagaimana sebenarnya dapat menemukan hukum tetapi
seminimal mungkin tidak melanggar azas legalitas. Barang kali penulisan ini
dapat memberikan sebuah solusi maupun wawasan untuk tujuan tersebut di atas
khusunya hakim maupun penegak hukum lainya.
D. PERMASALAHAN.
Dalam
menemukan hukum maupun bagaimana caranya menemukan hukum secara normatif tidak
ada petunjuknya, tidak ada pula undang-undang yang mengaturnya. Langkah menemukan
hukum diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan atau kebebasan hakim.
Namun
pada sisi yang lain dengan berlakunya azas legalitas, hakim
sebenarnya dilarang mengisi kekosongan undang-undang, oleh karenanya hakim
dilarang menciptakan peraturan yang berlaku dan mengikat secara umum. Hakim
pidana tidak sebebas hakim perdata dalam hal menemukan hukum, hakim pidana
dilarang menerapkan penafsiran “
argumentum a contrario” dan “argumentum
peranalogiam”.
Terdapat
beberapa prinsip umum yang terkait dengan azas legalitas, antara lain :
1. Prinsip
“ nullum crimen, noela poena
sine lege praevia” artinya; tidak ada perbuatan pidana
tanpa adanya undang-undang sebelumnya, konsekwensinya tidak berlakunya azas
retroaktif.
2. Prinsip
“ nullum crimen, noella poena
sine lege scripta” artinya ; tidak ada perbuatan pidana tanda adanya
undang-undang yang dibuat secara tertulis. Konsekwensinya semua ketentuan
pidana harus tertulis. Semua perbuatan ang dilarang maupun ancaman pidanya
harus tertulis secara expressive verbis dalam undang-undang.
3. Prinsip
“ nullum crimen, noella poena
sine lege certa ” artinya; tidak ada perbuatan pidana tanpa
adanya aturan undang-undang yang jelas. Konsekwensinya adalah setiap rumusan
perbuatan pidana harus jelas undang-undang, tidak multitafsir sehingga dapat
menjamin adanya kepastian hukum.
4. Prinsip
“ nullum crimen, noella poena
sine lege stricta ” artinya; tidak ada perbuatan pidana tanpa
undang-undang yang diatur secara ketat. Konsekwensinya secara implisit tidak
diperbolehkannya analogi.
Pinsip-prinsip tersebut di atas
sangat menghalang-halangi hakim dalam menemukan hukum. Hal tersebut dipertegas
dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu yang menyatakan tugas hakim dalam
konteks hukum pidana hanyalah “ qui
pronounce les paroles de la loi ” ( hakim hanya
sebagai corong undang-undang).
Meskipun demikian dalam
menghadapi perkembangan jaman melalui kemajuan tehnologi, masih adakah jalan
bagi hakim dan penegak hukum lain untuk menemukan hukum ketika dihadapkan pada
suatu fakta yang mana secara nyata merupakan pelanggaran terhadap
norma.
E. PEMBAHASAN.
Persoalan
terbesar penemuan hukum dalam hukum pidana adalah bagaimana cara menemukan
hukum tersebut. Dalam menemukan hukum terdapat dua unsur penting yang harus
diperhatikan yaitu:
1. Hukum
atau sumber hukum, hal ini dapat diperoleh dari;
a. doktrin,
b. yurisprudensi,
c. perjanjian,
d. kebiasaan.
2. Fakta.
Sebelum
hukum diterapkan pada peristiwa yang konkrit terlebih dahulu harus
menetapkan apa sesungguhnya yang menjadi situasi faktual sebagai penemuan suatu
kebenaran, kemudian situasi faktual tersebut dapat dipandang sebagai relevan
secara yuridis. Penemuan suatu kebenaran dalam peradilan pidana
mengimplikasikan bahwa hakim memandang peristiwa yang didakwakan terbukti
didasarkan pada isi dan alat-alat bukti yang SAH. Berdasarkan itulah maka hakim
memperoleh suatu keyakinan bahwa fakta-fakta yang dikemukakan dalam dakwaan,
dalam kenyataannya sungguh-sungguh terjadi. Jadi hakim harus bersifat aktif
dalam menemukan kebenaran fakta-fakta tersebut ( mencari dan menemukan
kebenaran materiil). Hal ini sangat berbeda dalam konteks peradilan perdata
dimana hakim bersifat pasif karena hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak yang melandasi gugatan.
Cara menemukan hukum dapat dilakukan dengan jalan
melakukan penafsiran atau analogi. Adapun tehnik melakukan penafsiran dapat
berpedoman pada pendapat para ahli maupun dengan memahami asas-asas umum
tentang penafsiran.
Menurut Jonkers ada tiga hal yang harus diperhatikan
dalam melakukan penafsiran yaitu:
1.
Jika kata-kata sudah jelas, maka yang berlaku adalah kata itu, bukan maksudnya.
Harus diingat bahwa hakimlah yang menilai apakah suatu kata itu sudah jelas
( Is het word duidelijk dan geldt het word en niet de bedoeling. Hierbij
moet worden bedacht, dat het de rechter is, die beoordeelt of een word
duidelijk is),
2. Jika
kata-kata tidak jelas, namun dapat diartikan berbeda-beda, maka yang dipilih
adalah kata-kata yang sesuai dengan tujuannya (Is het word niet duidelijk,
maar voor verschillenden uitleg vatbaar, dan gaat boven het word de bedoeling).
3. Jika
kemungkinan penjelasan berbeda-beda, maka yang dipilih adalah kata-kata yang
tidak mempunyai akibat apapun ( bij de mogelijkheid van verschillenden
uitleg gaat de opvatting, die aan de woorden zin geeft boven die, welke
geenerlei effect heelf ).
Sedangkan
asas-asas umum tentang penafsiran yang bisa dipedomani dalam proses menemukan
hukum dalam hukum pidana dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Asas
“ proporsionalitas”
dan ” asas subsidiaritas”.
Dua
asas ini merupakan asas utama yang saling terkait dalam prinsip
regulasi/mengatur suatu penafsiran dalam upaya menemukan hukum. Asas proporsionalitas
adalah asas mencari keseimbangan terhadap suatu undang-undang yang bertitik
tolak dari keseimbangan antara cara dan tujuan dari dibentuknya sebuah
undang-undang. Sedangkan asas subsidiaritas diperguanakan jika menghadapi suatu
persoalan yang sulit dan menimbulkan beberapa alternatif pemecahan, sehingga
kita harus memilih pemecahannya, jika demikian kemungkinannya maka digunakan
penafsiran yang paling sedikit menimbulkan kerugian.
2. Asas
“ relevansi “ dalam
hukum pidana, yaitu keberlakuan hukum pidana yang hanya menekankan adanya
persoalan penyimpangan perilaku social yang patut mendapat reaksi, sanksi dan
koreksi dari sudut pandang hukum pidana. Asas ini mendasari pada fungsi umum
hukum pidana sebagaimana yang disampaikan oleh Vos “….hukum pidana adalah untuk
melawan kelakuan-kelakuan yang tidak normal “ ( …het strafrecht zicht tegen min of meer
abnormal gedragingen ).
3. Asas
kepatutan (menurut Marten Luther), asas yang dalam hal menguji logika yuridis
lebih mengedepankan rasa kepatutan yang berkembang ditengah masyarakat.
4. Asas
“in dubio pro reo”, maksud
asas ini adalah jika terdapat keraguan dalam membaca suatu ketentuan hukum,
maka kita harus memilih ketentuan atau penjelasan yang paling menguntungkan
terdakwa. Asas ini ditentang oleh Pompe dengan mengatakan ; “…berdasarkan
karakter hukum pidana dan hukum acara pidana sebagai hukum public, jika ada
keragu-raguan tentang sesuatu, penuntut umum dan hakim berusaha menghilangkan
keragu-raguan itu dengan penyelidikan. Setelah penyelidikan yang luas tentang
perkara tersebut, masih tidak pasti, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah
(…..wegen het publiekrechtelijke karakter van strafrecht en
strafprocesrecht beide dienen bij aanvankelijke onzekerheid de vervolgende
ambtenaar en de rechter zelf er naar te striven deze onzekerheid door onderzoek
op te heffen. Ook na uitgebreid en nauwkeurig onderzoek kan de zaak echter
onzeker blijven, en dan volgts strafbaarverklaring van de verdachte).
5. Asas
“ exeptio format regulam “
( exception frimat vim legis in casibus non exeptis ), maksud
asas ini adalah jika terdapat aturan khusus yang menyimpang terhadap aturan
umum, maka penyimpangan tersebut harus diartikan secara sempit. Sebagai contoh
dalam perkembangan hukum pidana banyak melahirkan perbuatan-perbuatan yang
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana dalam suatu peraturan di luar
undang-undang yang telah dikodifikasi. Seringkali peraturan tersebut memuat
aturan menyimpang dari aturan yang umum, baik secara materiil maupun formil.
Jika demikian maka penyimpangan itu harus diartikan secara sempit dalam
pengertian khusus terhadap perbuatan pidana yang diatur dalam peraturan yang
belum dikodifikasi tersebut.
6. Asas
“titulus est lex” dan “rubrica est lex”, yang
pertama diartikan : “ judul perundang-undangan yang menentukan “ dan kedua
diartikan : “ bagian dari perundang-undanganlah yang menentukan”. Sebagai
contoh tindakan aborsi hanya dapat dipidana jika dilakukan terhadap
janin/kandungan yang telah bernyawa, bukan terhadap janin/kandungan yang belum
bernyawa. Hal ini disebabkan karena KUHP memasukan tindakan aborsi sebagai
bagian dari kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa. Jadi bagian yang
menentukan dari kejahatan aborsi adalah kejahatan terhadap nyawa.
7. Asas
materiil berkaitan dengan aturan tidak tertulis yang merujuk pada
tatanan sosial etis dan cita-cita/idealism hukum tertentu. Dalam asas ini
terkandung makna bahwa pada saat melakukan penafsiran terhadap peraturan
perundang-undangan, hakim harus memperhatikan asas tersebut sepanjang telah
diakui dalam hukum dengan dibuktikan berdasarkan doktrin atau
yurisprudensi. Asas ini terkait dengan ajaran sifat melawan hukum
dalam fungsinya yang negatif maupun sifat melawan hukum dalam fungsinya yang positif.
a. Sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif diartikan: bahwa meskipun
suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, jika menurut pandangan hidup masyarakat
perbuatan itu bukan merupakan perbuatan tercela berdasarkan asas-asas keadilan
atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, maka perbuatan itu
tidak dijatuhi pidana, sebagai contoh putusan Mahkamah Agung RI no: 42 K / Kr /
1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam kasus penyalah gunaan DO Gula di PN Singkawang.
b. Sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif diartikan : bahwa meskipun
suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik jika perbuatan tersebut dianggap
bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat,
maka perbuatan itu dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh putusan Mahkamah Agung
RI no: 275 K/Pid/1982 tanggal 15 Desember 1983, dalam kasus korupsi di Bank
Bumi Daya.
Hal
lain yang harus diperhatikan dalam proses penemuan hukum adalah dengan
menggunakan metode penafsiran, metode penafsiran yang bersifat umum dan sering
digunakan antara lain sebagai berikut :
1. Interpretasi
gramatikal, yaitu : makna ketentuan undang-undang yang ditafsirkan dengan cara
menguraikannya menurut bahasa umum sehari hari. Sebagai contoh putusan Hoge
Raad 30 Januari 1996 NJ 1996.23 berkenaan dengan pengertian “mayat” menurut
pasal 151 WvS yang menafsirkannya menurut kamus besar bahasa Belanda bahwa
mayat itu tidak harus dipahami sebagai jenasah dari seorang manusia yang
sedemikian lengkap namun juga badan tanpa kepala, tangan dan kaki.
2. Interpretasi
sistimatis/logis, yaitu: menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan cara
menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan
keseluruhan sistim hukum yang ada. Penafsiran ini tidak hanya mengacu pada
pasal yang ada tetapi harus melihat pasal yang lain dalam undang-undang yang
sama atau undang-undang lainya, bahkan sistim hukum yang ada secara keseluruhan
sebagai satu kesatuan.
3. Interpretasi
historis, yaitu : menafsirkan makna undang-undang menurut terjadinya dengan
jalan meneliti sejarah terjadinya perundang-undangan, mencari pertautan pada
penulis-penulis dfalam konteks kemasyarakatan di masa lampau.
4. Interpretasi
teleologis/sosiologis, yaitu : menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
pembentukannya dari bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut.
5. Interpretasi
komperatif , yaitu : penafsiran dengan membandingkan ketentuan undang-undang di
berbagai Negara, terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional.
6. Interpretasi
antisipatif/futuristic, yaitu : penafsiran dengan menggunakan
peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku karena masih dalam
rancangan undang-undang.
7. Interpretasi
evolutif-dinamis, yaitu : pemaknaan oleh seorang hakim atas dasar perkembangan
hukum yang terjadi setelah kemunculan atau diberlakukannya aturan-aturan hukum
tertentu. Penafsiran ini digunakan jika terjadi perkembangan pemikiran tentang
hukum yang dalam pergaulan kemasyarakatan dicerminkan dari keadaan moralitas
tertentu atau dalam perundang-undangan lainnya dari hukum.
8. Interpretasi
kreatif, yaitu : dengan menggunakan interpretasi ini hakim mengungkap satu
unsur tertentu yang dianggabnya terkandung dalam suatu rumusan pidana, meskipun
unsur tersebut tidak diuraikan secara tegas di dalamnya.
9. Interpretasi tradisional,
yaitu : menemukan hukum dengan cara melihat suatu perilaku dalam tradisi hukum.
10. Interpretasi
harmoniserende, yaitu : penafsiran yang dipergunakan untuk menghindari
disharmoni atau konflik antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lain.
11. Interpretasi
doktriner, yaitu : menafsirkan undang-undang dengan cara memperkuat argumentasi
dengan merujuk pada suatu doktrin tertentu.
Dalam
praktek tehnik penggunaan berbagai interpretasi tersebut dilakukan dengan
secara bersamaan, sehingga batasanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan
dengan jelas, dengan kata lain pada setiap kegiatan penafsiran terdapat
gabungan berbagai unsur misalnya gramatikal, sistimatis, historis maupun teleologis
dan sebagainya.
F. KESIMPULAN.
Berdasarkan
apa yang diuraikan di atas maka terdapat beberapa hal yang secara bertahap
harus diperhatikan dalam proses penemuan hukum, yaitu :
1. Adanya
suatu peraturan hukum yang bersifat umum.
2. Adanya
peristiwa konkrit yang ditemukan.
3. Peraturan hukum yang bersifat umum itu
kemudian harus diterapkan terhadap peristiwa
konkrit yang ditemukan sebagai wujud penemuan hukum dengan jalan melakukan
interpretasi atau analogi.
4.
Penemuan hukum merupakan tugas
hakim dalam persidangan yang dimulai dengan pengkonstantiran suatu peristiwa
konkrit, mengkualifikasikan peristiwa konkrit yang telah ditemukan menjadi
peristiwa hukum.
5. Menjatuhkan vonis/putusan
dengan menerapkan aturan hukum terhadap peristiwa hukum tersebut.
Adapun
prioritas penafsiran mana yang dipergunakan dalam hukum pidana tidak dapat
ditentukan secara kaku. Namun bila dilihat dari berbagai yurisprudensi yang ada
maka penafsiran yang sering digunakan secara urut adalah: penafsiran
teleologis, gramatikal dan sistimatis. Oleh karena itulah maka di dalam hukum
pidana, apabila dikaitkan dengan penemuan hukum metode penasirannya cenderung
mengarah pada metode penafsiran yang ekstensif.
Dengan
demikian maka antara metode penafsiran ekstensif dengan analogi dalam hukum
pidana tidak terdapat perbedaan. Penggunaan analogi dalam hukum pidana
sangat cocok untuk disesuaikan dengan dinamika masyarakat yang
senantiasa tumbuh dan berkembang, hal ini sesuai dengan tujuan hukum pidana
modern yaitu guna melindungi kepentingan masyarakat dari berbagai tindakan
kejahatan.
|
0 komentar:
Posting Komentar