Senin, 20 November 2017

Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas

Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala

1. Latar Belakang

“Pada saat undang-undang dibahas dan dibicarakan oleh legaislatif, semua berpendapat sudah baik dan sempurna. Akan tetapi pada saat diundangkan, undang-undang tersebut langsung berhadapan dengan seribu macam masalah konkret yang tidak terjangkau dan tak terpikirkan pada saat pembahasan dan perumusan”. Kenyataan tersebut  disebabkan oleh keterbatasan manusia memprediksi secara akurat apa yang akan terjadi di masa yang akan datang dan kehidupan masyarakat manusia baik sebagai kelompok maupun bangsa (nasional), regional dan internasional mengalami perubahan yang dinamis. Selalu terjadi perubahan masyarakat (social change). Perkembangan dan perubahan merupakan “hukum abadi’dalam sejarah kehidupan manusia.

Perkembangan model-model kejahatan yang terjadi mengakibatkan diperlukannya sebuah reformasi dan pembaharuan dalam sistem hukum yang ada sehingga bisa sesuai dengan kondisi masyarakat yang cenderung lebih dinamis daripada hukum itu sendiri. Hal ini juga mencakup masalah pengaturan acara pemeriksaan koneksitas adalah sebuah rangkaian permasalahan hukum yang tidak bisa dibiarkan terlalu lama tanpa kejelasan. Karena, permasalahan ini menyangkut kepada permasalahan yang sangat mendasar dalam proses penegakkan hukum, hal ini demi menjamin adanya sebuah kepastian hukum.

2. Perumusan Masalah
Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil yang bersifat limitatif dan imperatif, ternyata tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh prajurit TNI yang termasuk yustiabel Peradilan Militer dengan warga sipil yang termasuk yustiabel Peradilan Umum tidak diselesaikan dengan acara pemeriksaan koneksitas melainkan perkaranya diselesaikan secara splitsing oleh masing-masing lingkungan peradilan yaitu Peradilan Militer dan Peradilan Umum, dengan perumusan masalah sebagai berikut :

Apakah menghasilkan putusan pengadilan batal demi hukum karena hukum acara pidana tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau putusan pengadilan yang dihasilkan tidak batal demi hukum?

3. Acara Pemeriksaan Koneksitas

Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh oknum militer atau prajurit TNI bersama-sama dengan orang sipil yang secara yuridis formal harus diadili dalam satu lingkup peradilan umum (Pengadilan Negeri) atau dalam lingkup peradilan militer (Pengadilan Militer). Inilah yang disebut Acara Pemeriksaan Koneksitas yang selengkapnya dirumuskan dalam Bagian Kelima, Pasal 198 sampai dengan Pasal 203 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer atau ada juga pakar hukum menyebutkan dengan Peradilan Koneksitas atau Koneksitas yang selengkapnya dirumuskan dalam BAB XI Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Acara Pemeriksaan Koneksitas atau Peradilan Koneksitas atau Koneksitas adalah suatu sistem peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana dimana diantara Tersangka atau Terdakwanya terjadi penyertaan10 (turut serta, deelneming) atau secara bersama-sama (mede dader) antara orang sipil dengan orang yang berstatus militer (prajurit TNI). Menurut Prof Andi Hamzah yang dimaksud dengan Peradilan Koneksitas adalah sistem peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara orang sipil dengan orang militer.

Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan bahwa peradilan koneksitas pasti menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan oleh orang sipil bersama-sama dengan orang militer yang diatur dalam Pasal 56 dan 56 KUHP. Jika terjadi penyertaan antara orang militer (yang tunduk kepada peradilan militer) dan orang sipil (yang tunduk kepada peradilan umum), maka primus interpares yang berwenang mengadili ialah pengadilan dalam lingkup peradilan umum. 13 Para tersangka (sipil bersama militer) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, merupakan pengecualian. 14 Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah menentukan kewenangan keputusan berada pada Ketua Mahkamah Agung, sedangkan pada ketentuan Pasal 89 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 198 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer berada pada Keputusan Menteri

Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman. Maksud dan tujuan dari koneksitas memberikan jaminan bagi terlaksananya peradilan koneksitas yang cepat dan adil, walaupun ada kemungkinan proses yang ditempuh ini tidak semudah seperti mengadili perkara pidana biasa. Dengan adanya koneksitas antara kedua kelompok yang berlaian lingkungan peradilannya dalam melakukan suatu tindak pidana, pembuat undang-undang berpendapat, lebih efektif untuk sekaligus menarik dan mengadili mereka dalam suatu lingkungan peradilan saja. Selain maksud dan tujuan diatas, Andi Hamzah menilai pengaturan tentang koneksitas ini memiliki suatu masalah praktis pada birokasi penentuan peradilan yang akan mengadili agak berlarut-larut, sedangkan dalam KUHAP dianut sistem peradilan cepat (speedy trial; contante justitie).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, suatu perkara hanya bisa disidangkan sebagai perkara koneksitas jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan telah disetujui oleh Menteri Kehakiman. Belum lagi menunggu hasil pengkajian dari tim penyidik yang dibentuk untuk menentukan apakah perkara masuk lingkungan peradilan umum atau militer, sehingga dapat dibayangkan waktu yang akan diperlukan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Seharusnya masalah ini juga perlu untuk diperhatikan agar maksud dan tujuan dari koneksitas memberikan jaminan bagi terlaksananya peradilan koneksitas yang cepat dan adil dapat terwujud tanpa menyampingkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya.

Jika tindak pidana penyertaan tersebut yang berwenang mengadili ialah pengadilan dalam lingkup peradilan umum, akan sejalan dengan jika titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Namun ketentuan pengecualian diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, jika titik berat berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.  Kompleksitas silang pendapat dan penentuan titik berat kerugian antara kepentingan umum dengan kepentingan militer pada tahap penyidikan merupakan dinamika permasalahan tersendiri di dalam praktek hukum. Sekalipun hal ini telah diatur secara tegas jika kemudian perbedaan pendapat para penyidik antara penuntut umum dan oditur tersebut, kemudian berlanjut sampai pada perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal, pendapat Jaksa Agung yang menentukan. Upaya untuk mengeliminir perbedaan pendapat penyidik dapat dicegah sedini mungkin, khususnya dalam hal penentuan titik berat kerugian antara kepentingan umum atau kepentingan militer tersebut sebenarnya dapat diakomodir dengan telah diamanatkannya Pembentukan Tim Tetap Pusat dan Tim Tetap Daerah untuk Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas18, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 sebagai berikut :

“(1) Tim Tetap Pusat bertugas melakukan penyidikan terhadap perkara koneksitas:
        a. apabila perkara dan atau tersangkanya mempunyai bobot nasional dan atau internasional.
     b. apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat lebih dari satu daerah hukum  Pengadilan Tinggi.

(2) Tim Tetap Daerah bertugas melakukan penyidikan perkara pidana koneksitas,
sebagai berikut :
  a. dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi:

  1. apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum Pengadilan Negeri, tetapi masih dalam satu daerah hukum Pengadilan Tinggi.
  2. apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.

     b. dalam daerah hukum Pengadilan Negeri:
apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkkannya terjadi dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(3) Ketua Tim Tetap bertugas mengkoordinasikan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh Tim Tetap yang bersangkutan agar dapat berjalan lancer, terarah, berdaya guna dan berhasil guna.
(4) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas tersebut pada Ayat (3), Ketua Tim Tetap dapat menunjuk para pembantunya dan dengan persetujuan anggota Tim Tetap menunjuk tempat Kantor Sekretaris Tim Tetap.”
Unsur-unsur Tim Tetap Pusat dan Daerah dalam Pasal 2 Keputusan Bersama tersebut mengatur, sebagai berikut:
“(1) Tim Tetap terdiri dari dari unsur-unsur :
        a. Pada Tim Tetap Pusat :

  1. Penyidik dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. Penyidik dari Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia pada Pusat Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, disingkat PUSPOM ABRI.

0 komentar:

Posting Komentar