Kamis, 20 Oktober 2011

MEMBANGUN PENGADILAN KHUSUS TINDAK PIDANA KORUPSI YANG AKUNTABEL: ILUSI ATAU KEBUTUHAN ?

Kondisi Pengadilan dan Potensi Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan di Indonesia.

a. Kondisi Pengadilan Saat ini

Keluhan yang dilontarkan masyarakat terhadap citra lembaga pengadilan setelah 10 tahun reformasi berjalan adalah: mengenai campur tangan pemerintah, putusan yang dirasa kurang adil, pemerasan terhadap pencari keadilan, penyuapan untuk mengatur putusan, keberpihakan hakim kepada yang berkuasa / pemilik uang. Kesemuanya menggambarkan rendahnya citra dan wibawa pengadilan yang mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat pengadilan.

Keadaan-keadaan yang mempengaruhi kepercayaan publik terhadap pengadilan adalah :

1) Tentang mutu Hakim, yang dimaksud mutu disamping pengetahuan tentang hukum termasuk pula sikap moral Hakim yang mencakup integrits, layak dipercya, jujur dan memiliki rasa kebanggaan untuk memelihara jabatannya. Faktor integritas menentukan suatu putusan hakim yang benar dan adil. Faktor ini menyangkut karakter atau kepribadian yang didapat sebagai hasil latihan dan buah dari berbagai pengaruh sekitarnya. Hal ini salah satu masalah yang dihadapi institusi pengadilan yakni menipisnya kepribadian, dan lingkungan sosial yang tidak lagi kondusif membangun kepribadian.

2) Kebebasan Hakim, kebebasan Hakim bertalian dengan independensi, ketidak berpihakan dan perlindungan dari segala bentuk pelecehan dalam memutus perkara. Kebebasan Hakim tidak hanya terancam karena campur tangan pemerintah, dapat pula terjadi karena tekanan publik yang tidak lagi proporsional dan kepentingan pihak yang berperkara dengan menggunakan suap atau bentuk lainnya. Bahkan tekanan dapat pula datang dari lingkungan peradilan sendiri seperti Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung kepada Hakim tingkat lebih rendah dengan pesan pribadi atau resmi.

3) Sistem pengelolaan badan peradilan, salah saatu aspek penting yaitu pengawasan untuk mencegah penyalah gunaan kekuasaan. Dengan pengawasan yang baik mutu dan integritas Hakim dapat dijaga. Kenyataan tidak jarang pengawasan tidak efektif karena yang mengawasi mempunyai kepentingan sendiri dalam suatu perkara. Pengadilan tingkat banding yang semestinya menjadi “ voor post ” Mahkamh Agung di daerah tidak jarang menunjukan performance yang kurang memuaskan baik dalam fungsi pengawasan maupun fungsi yustisial.

4) Faktor Politik, sistem politik dapat berpengaruh pada tingkah laku hakim, dapat menempatkan hakim sebagai subsistem dan instrument politik untuk menunjang sistem kekuasaan yang ada. Dalam keadaan semacam itu, ukuran benar dan adil tidak lagi ditentukan oleh prinsip-

prinsip umum keadilan melainkan semata-mata untuk kepentingan kekuasaan. Yang tidak berkepribadian, akan menggunakan “peluang” hubungan politik tersebut untuk menjamin kelanggengan posisi atau promosi. Promosi tidak didasarkan pada “merit system“, tetapi “spoil system“ yaitu dasar “orang kita” dan “bukan orang kita”. Ukuran mutu menjadi tidak penting. Hal semacam ini terjadi di lingkungan peradilan, salah satunya adalah sistem mutasi hakim.

5) Fasilitas kerja dan kesejahteraan, fasilitas kerja di lingkungan peradilan sangat tidak memadai. Akibatnya badan peradilan mudah sekali menerima uluran tangan, sehingga lupa pada suatu saat harus membalasnya dengan mengorbankan kebenaran dan keadilan. Gaji hakim apalagi karyawan belum memadai untuk hidup layak dan memenuhi berbagai tuntutan menjadi hakim yang bermutu. Dipihak lain, para hakim dihadapkan dengan nilai perkara yang tidak terhingga besar jumlahnya. Inilah salah satu awal dari sistem suap di lingkungan penegak hukum termasuk di lingkungan badan peradilan.

6) Aturan hukum yang tidak memadai, banyak keluhan mengenai aturan hukum yang berlaku yang tidak memadai untuk menjamin kepastian hukum atau penyelesaian perkara secara benar dan adil. Sumbernya adalah “kualitas rumusan hukum” dan banyaknya “aturan kebijakan”, yang tidak lagi proporsional. Rumusan peraturan lebih banyak mencerminkan kepentingan politik kekuasaan, ekonomi atau sosial tertentu dari pada suatu kepentingan umum, atau kepentingan hukum itu sendiri. Keadaan ini membuka peluang bagi penegak hukum untuk mencari-cari dan menerapkan metode dan pengertian hukum menurut selera sendiri yang menguntungkan.

b. Potensi tindak pidana korupsi di pengadilan

Secara teknis, peluang korupsi di lingkungan badan peradilan dapat dikatakan terbatas, apalagi kalau dikaitkan dengan hakim. Para hakim – kecuali yang menjadi pejabat struktural tidak mengelola keuangan negara atau yang berkaitan dengan keuangan negara, karena itu hampir tidak membuka peluang korupsi. Begitu pula peluang nepotisme yang berkaitan dengan pengisian jabatan di lingkungan badan peradilan. Lain halnya dengan kolusi, hakim dan segenap perangkat di lingkungan badan peradilan mempunyai kesempatan luas melakukan kolusi dalam penyelesaian perkara. Dari berbagai cerita, hampir tidak ada perkara disemua tingkatan yang tidak memerlukan uang pelicin. Bagi mereka yang tidak menyediakan uang pelicin, ada dua hal yang akan terjadi. Pertama; penyelesaian perkara akan diperlambat, kedua; dalam perkara yang bukan perkara pidana kemungkinan dikalahkan, walaupun semestinya menang. Dalam perkara pidana , sedikit sekali peluang mendapat hukuman yang lebih ringan, apalagi bebas, atau dilepaskan, penyelesaian hukum ditentukan oleh para pembayar yang lebih tinggi. Perbutan-perbuatan tidak terpuji tersebut tidak hanya hakim, dilakukan juga oleh sebagian jabatan kepaniteraan, dan pegawai lain di lingkungan peradilan.

Hubungan Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

Subtansi judul bahasan ini adalah mencari sebuah jawaban atas pertanyaan apakah pemberantasan korupsi membutuhkan pengadilan khusus tindak pidana korupsi atau apakah pengadilan khusus Tipikor diperlukan untuk memberantas korupsi ? Upaya untuk memberantas korupsi secara tepat maka harus diketahui sejauh mana tindak pidana korupsi yang terjadi, pelaku tindk pidana korupsi, dan kondisi pengadilan saat ini.

Pertama, mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi saat ini ada pendapat bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia harus dinyatakan dalam keadaan darurat, sehingga pemberantasan dan penanganannya tidak lagi menggunakan aturan dan lembaga dalam keadaan normal. Hal ini didasarkan pada peta korupsi yang terjadi selama tahun 2008 merebak mulai dari Aceh sampai Papua, dari pusat hingga ke daerah. Terjadi pada semua level jabatan hampir pada setiap institusi baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehingga hampir tidak ada instansi yang terbebas dari perilaku korupsi. Selama tahun 2005-2008 terdapat 8 Gubernur - Wakil Gubernur, 32 Bupati – Wakil Bupati dan ratusan orang anggota DPRD diberbagai daerah disidangkan dalam perkara korupsi.

Perasaan kita tersentak, karena elit kekuasaan dan elit politik sudah benar-benar koruf, tak ada lagi tempat bersih yang bebas dari korupsi. Korupsi di Indonesia oleh Haryatmoko dinilai sebagai kejahatan struktural, melembaga, dan terpola yang menghambat orang memenuhi kebutuhan dasar. Aloys Budi Purnomo mengatakan bahwa saat ini musuh rakyat adalah para koruptor yang telah berhianat kepada rakyat. Korupsi telah mewabah terjadi dimana-mana, dan pada setiap level jabatan dari setiap institusi penyelenggara negara. Karena sudah menjadi wabah, penanganannya tidak bisa lagi secara konvensional melainkan perlu lembaga khusus, aturan khusus dan partisipasi publik untuk menghentikannya.

Kedua, kondisi pengadilan saat ini. Bagian ini erat kaitannya dengan legitimasi pengadilan yang ada dimata publik. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas aparatur pengadilan saat ini, mudah dipahami dari dukungan publik terhadap kinerja KPK dan pengadilan khusus Tipikor dalam menangani tindak pidana korupsi. Menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga pengadilan tidak terjadi serta merta melainkan sebagai proses panjang perilaku aparat pengadilan dalam memberi respons negatif bagi pencari keadilan. Banyak faktor penyebab timbulnya keadaan ini seperti : Sumber daya manusia tercermin dari tidak profesionalnya pelaksanaan tugas pengadilan, moralitas tercermin dari kasus-kasus jual beli perkara dan pengaturan putusan, disiplin dan dedikasi tercermin dari ketidak tepatan waktu sidang yang membosankan para pencari keadilan. Untuk keluar dari kondisi tersebut terdapat keinginan kuat untuk membentuk pengadilan-pengadilan khusus (HAM, Tipikor, Pajak dll) dengan hakim-hakim ahli (Ad Hoc). Berdasarkan uraian tersebut maka jawabannya bahwa pengadilan khusus tindak pidana korupsi dibutuhkan untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Satu hal yang dapat menjadi penghambat bagi pengadilan Tipikor tersebut, adalah yang berkaitan dengan eksistensi Pengadilan Tipikor dibentuk pada pengadilan umum, oleh karena itu kinerja pengadilan Tipikor tidak akan lepas dari kekuasaan Ketua pengadilan negeri yang secara organisatoris sampai ke Mahkamah Agung. Independensi pengadilan Tipikor tidak akan keluar dari rambu dan kebijakan ketua Pengadilan Negeri yang ada.

Kebijakan Pengembangan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

Pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor, merupakan hasil dari proses panjang perjalanan bangsa perang melawan korupsi. Sejarah pemberantasan korupsi memperlihatkan kemauan dan kesungguhan bangsa untuk memberantas korupsi meskipun hasilnya tidak memuaskan publik. Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan dikeluarkannya peraturan penguasa militer tentang pemberantasan korupsi, dan pada tahun 1958 dijadikan peraturan penguasa perang pusat untuk memberantas korupsi dalam skala nasional, Selanjutnya pada tahun 1960 peraturan tersebut diganti dengan Undang-Undang No.24/Prp/1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada tahun 1967 dibentuk tim pemberantasan korupsi dengan Keppres No. 228 tahun 1967.

Pada tahun 1971, Undang-Undang. No.24/Prp/1960 diganti dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-Undang ini memperluas rumusan tindak pidana korupsi, mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan. Pada tahun 1977 berdasarkan Inpres No 9 tahun 1977 dilakukan operasi tertib (opstib) yang melakukan pembersihan terhadap pungutan liar, hasilnya pada tahun 1981 mencapai ± 1000 perkara melibatkan lebih dari 8000 pelaku. Pada tahun 1999 terbit Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang No. 20 tahun 2001 yang cukup refrensentatif untuk dijadikan sarana pemberantasan korupsi. Pada tahun 2002, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang efektif berlaku tanggal 27 Desember 2003. Berdasarkan pasal 53 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 lahir pengadilan tindak pidana korupsi.

Ternyata kemudian pasal 53 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 sebagai dasar hukum pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi tersebut oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 212/016-010/PUU/IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pemerintah mengajukan RUU Pengadilan khusus Tipikor dalam Undang-Undang tersendiri sebagaimana perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Perjalanan panjang dan silang pendapat mewarnai pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tersebut, terutama berkaitan dengan isu krusial yaitu mengenai pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor dan eksistensi hakim ad -hoc tipikor.

Golongan pro pengadilan khusus tipikor diantaranya ICW yang dipelopori Teten Masduki mengingatkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah dan DPR dengan menunda-nunda pembahasan RUU Pengadilan Khusus Tipikor sudah menjadi pertanda adanya soliditas kekuasaan mitra eksekutif-legislatif Untuk membungkam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Wakil ketua KPK M. Jasin mengatakan terjadi perlawanan balik dari pelaku korupsi selalu di tujukan untuk melemahkan KPK salah satunya melalui proses legislasi atas Undang-undang KPK ke Mahkamah Konstitusi.

Mengenai eksistensi Hakim Ad Hoc Tipikor, Romli Atmasasmita ketua tim perumus RUU Pengadilan Tipikor mengatakan bahwa perubahan draft pasal 27 RUU tentang komposisi Hakim yang penentuannya di tetapkan oleh ketua pengadilan atau ketua mahkamah agung, adalah sengaja di lakukan oleh pemerintah. Menurut Romli apabila DPR meloloskan Pasal 27 RUU tersebut ,maka sama dengan mengembalikan posisi pemberantasan korupsi ke Pengadilan Negri artinya tidak ada kemajuan dalam pemberantasan korupsi. Menurut pemerintah yang di wakili Menteri Hukum dan HAM ,bahwa pandangan masyarakat terhadap hakim karir sudah berubah, dulu Hakim Ad Hoc diadakan karena hakim karir dipandang masyarakat tidak bisa menegakan keadialan, namun pandangan itu berubah. Keberatan serupa disampaikan pula oleh Ketua PN Simalungun Binsar Gultom menurutnya Ketua PN atau Ketua MA berhak dan berwenang menentukan komposisi Majelis mengacu pada pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dan pasal 15 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatakan bahwa Penagdilan Khusus hanya bisa dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum.

ICW meragukan kemampuan dan kemauan Pengadilan Negeri memutus perkara korupsi, dari hasil penelitiannya bahwa selama tahun 2007 Pengadilan Negeri telah membebaskan 212 Terdakwa kasus korupsi, meningkat 81 % dibandingkan pada tahun 2005 hanya 54 orang Terdakwa kasus korupsi yang bebas dan tahun 2006 sebanyak 117 kasus korupsi yang bebas. Anggota DPR Partai Demokrat Beni K. Harman menangkap adanya Susana kebatin DPR saat ini untuk memberangus KPK setelah maraknya penangkapan terhadap anggota DPR. Pendapat yang paling moderat adalah pandangan yang disampaikan Indriyanto Seno Adji Anggota TIM perumus RUU Pengadilan Tipikor bahwa pilihan untuk menyerahkan penentuan Majelis Hakim kepada Ketua PN atau MA adalah alternatif yang paling moderat terhadap pandangan subyektifisme Hakim karier dan Ad Hoc untuk mendikotomi hakim karier dan Hakim Ad Hoc selain itu bahwa Ketua PN atau Ketua MA adalah penangjung jawab secara administratif, mereka dapat memilih hakim untuk suatu perkara sesuai dengan tingkat kesulitan dan kompleksitas perkara itu.

Melalui pengembangan Pengadilan Khusus Tipikor yang saat ini dalam pembahasan, dapat dinilai kemauan politik pemerintah dan DPR serta komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Sangat diharapkan penentuan komposisi Hakim Pengadilan Tipikor oleh Ketua PN tidak mengkerdilkan Pengadilan Khusus Tipikor, juga sebaliknya kredibitas Peradilan Khusus Tipikor tidak melemahkan akuntabilitas Pengadilan Negeri.

Kompetensi dan kontribusi penulis dalam pemberantasan Korupsi melalui Pengadilan Khusus Tipikor.

Penulis adalah Hakim Militer Utama pada Pengadilan Militer setelah sebelumnya memangku jabatan Kepala Pengadilan Militer Tinggi di Surabaya dan Jakarta dan sebagai Hakim Militer Tinggi telah berkali-kali menyidangkan perkara tindak pidana korupsi di Lingkungan Pengadilan Militer meskipun kwantitasnya tidak sebanyak di Peradilan Umum. Penulis berpendapat bahwa mengadili perkara korupsi sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, bukan hanya pekerjaan memeriksa dan memutus atau menjatuhkan hukuman kepda pelakunya, melainkan harus mampu melakukan analisis atas perbuatan korupsi berdasarkan alur proses korupsi yaitu pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi (strategi Preventif), pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi (strategi detektif) dan pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi (strategi refresif)

Strategi preventif, diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi, setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi, banyak hal yang harus dilakukan sebagai bagian dari strategi preventif dan melibatkan berbagai pihak. Setrategi detektif, diarahkan apabila suatu perbuatan korupsi telah terjadi, perbuatan tersebut harus dapat diketahui dalam waktu yang singkat dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat, banyak sistem yang harus di benahi sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi perbuatan korupsi. Strategi represif, di arahkan untuk memberikan sangsi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pelaku korupsi. Proses penanganan korupsi dari tahap penyelidikan, pengusutan, penuntutan sampai dengan peradilan perlu di kaji untuk dapat di sempurnakan di segala aspeknya.

Penanganan korupsi yang di lakukan oleh KPK sebagai penyidik dan penuntut perkara korupsi merupakan langkah tepat dan menjadi kepercayaan publik. Bagaimana dengan pengadilan yang memeriksa perkara korupsi ? Jawabannya atas pertanyaan tersebut adalah kita harus membangun pengadilan khusus tipikor yang akuntabel sebagai suatu kebutuhan, yang harus di perhatikan adalah :

a. Aspek Yuridis, Pembentukannya berlandaskan hukum yang kuat, yakni Undang-Undang tersendiri mengenai pengadilan tipikor, bukan atas dasar peraturan perundang-undangan.

b. Aspek hukum acara, Pengadilan Tipikor dalam mengadili perkara menggunakan hukum acara khusus untuk mempercepat dan memudahkan proses pemeriksaan dimuka persidangan,

c. Aspek kelembagaan, Pengadilan Khusus Tipikor memiliki sturktur organisasi dan tata kerja yang jelas dalam hubungannya dengan kelembagaan peradilan negri untuk memudahkan pembinaan karir hakim.

d. Aspek sumber daya manusia, Hakim Pengadilan Tipikor diisi oleh hakim yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan keahlian yang memadai.

e. Aspek moral dan integritas, Hakim Pengadilan Tipikor harus memiliki moral dan integritas yang baik sebagai hakim sehingga tidak diragukan loyalitas dan dedikasi terhadap tugas dan tanggung jawab pekerjaannya

f. Aspek kesejahteraan, Hakim tipikor harus mendapat penghasilan yang memadai sesuai keahlian, jabatan dan pendidikannya.

Kesimpulan dan catatan penutup

Pada bagian tulisan ini, penulis memberikan kesimpulan :

a. Membangun pengadilan khusus tindak pidana korupsi sebagai bagian upaya pemberantasan korupsi, bukan lagi dalam tahap wacana melainkan suatu kebutuhan dengan didasari pertimbangan sebagai berikut :

1) Perbuatan korupsi yang terjadi 10 tahun setelah reformasi semakin menggurita. Dislokasinya menyebar dari Aceh hingga Papua / dari pusat hingga daerah, melibatkan pelaku aparat penyelenggara negara eksekutif, legislatif dan yuidikatif, dengan kerugian negara yang relatif besar.

2) Kondisi pengadilan di Indonesia saat ini dalam proses bangkit dari krisis kepercayaan publik, yang masih rentant terhadap tindakan penyimpangan oleh aparat peradilan.

b. Pengadilan Khusus Tripikor yang kita bangun sebagai pengadilan yang akuntabel. SDM Hakim Tripikor menentukan akuntabilitas dan kredibilitas institusi. Oleh karenanya proses seleksi harus memperlihatkan etos-etos yang berkembang, baik etos ke ilmuan, etos kerja, disiplin dan kebersamaan sehingga menjadi hakim yang bertanggung jawab dalam proses peradilan (memiliki tanggung jawab , dedikasi dan integritas moral)

Sebagai catatan penutup penulis, bahwa dalam penentuan komposisi hakim tipikor antara hakim ad hoc dan hakim karier, akan lebih tepat bila berada pada ketua pengadilan negeri dengan pertimbangan dari aspek administratif berada pada ketua PN, dan sekaligus menghapus dikotomi antara hakim karier dan hakim ad hoc. Selain itu akuntablitas pengadilan Tipikor tidak mendelegitimasi pengadilan negeri.

Oleh, Mayjen TNI Drs. Burhan Dahlan, SH. MH.

0 komentar:

Posting Komentar