Selasa, 14 November 2017

PENJATUHAN PIDANA DI BAWAH STRAFMAAT MINIMAL KHUSUS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA PASAL 111 DAN 112 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Oleh : Kapten Chk Subiyatno, SH
(Hakim Militer Gol. VII Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin)


A. PENDAHULUAN.
Kejahatan narkotika termasuk extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, sehingga membutuhkan upaya yang luar biasa untuk memberantasnya. Tindak pidana narkotika yang telah bersifat trasnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang terus berkembang telah menimbulkan korban yang begitu luas yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyalahguna Narkotika yang sebagian besar merupakan generasi muda bangsa (kalangan usia produktif) telah pada tahap sangat mengkhawatirkan, sehingga tidak heran pada tahun 2015 Indonesia telah dinyatakan darurat narkoba. Indonesia merupakan Negara terbesar ketiga dalam skala peredaran narkobanya setelah Kolombia dan Meksiko .

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini .

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan Narkotika maupun peredaran gelap Narkotika Pemerintah dengan persetujuan DPR pada tanggal 12 Oktober 2009 telah mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hal yang khusus dalam undang-undang ini adalah diterapkannya pemberatan sanksi pidana salah satunya dalam bentuk sanksi pidana minimum khusus dengan tujuan untuk memberikan efek jera terhadap para pelakunya.    
Pasal 111 dan 112 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memuat mengenai lamanya ancaman pidana (strafmaat) berupa penjara dan denda minimum dan maksimum. Sistem penjatuhan pidana seperti ini (dalam Undang-Undang ini) bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana narkotika.

Dalam pasal 111 yang terdiri dari 2 (dua) ayat memuat ancaman pidana minimum berupa penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) serta ancaman pidana maksimum berupa berupa penjara seumur hidup atau 20 (dua puluh tahun) dan denda maksimum sebagaimana dimaksud ayat 1 ditambah 1/3. Hal sama termuat dalam ancaman pidana dalam pasal 112.

Bahwa dalam persidangan seringkali Oditur Militer mendakwa dengan pasal 111 atau pasal 112, akan tetapi dalam fakta bersidangan ternyata diketemukan bahwa Terdakwa hanya seorang pemakai dan barang bukti Narkotika yang dimiliki adalah relatif kecil semisal di bawah 1 (satu) gram untuk metampethamin (shabu). Bahwa semestinya Oditur juga mendakwaakan dengan pasal alternatif yaitu pasal 127, akan tetapi justru pasal ini tidak didakwakan oleh Oditur Militer. Mengenai hal ini apakah dalam penjatuhan putusan tetap menerapkan ketentuan pidana minimum khusus ? ataukah ketentuan pidana minimum khusus tersebut dapat disimpangi ? atau justru putusan Majelis Hakim keluar dari surat dakwaan dengan menerapkan pasal 127 atau juga berupa pembebasan ?. Bahwa mengenai hal ini kita harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Mahkamah Agung yang termuat dalam Surat Edaran (SE) yang kemudian dijadikan pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung.
B. RUMUSAN MASALAH.

Sistem penjatuhan pidana minimum khusus yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini didasari akan bahaya yang ditimbulkan dari kejahatan narkotika yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korban yang meluas sebagai akibat dari kejahatan narkotika menjadi perhatian yang serius bagi negara tentang bagaimana cara mengatasinya.

Formulasi penerapan penjatuhan pidana yang menganut sistem minimal khusus harus tepat sasaran. Disamping untuk memberikan efek jera, undang-undang ini memberikan perlindungan bagi pelaku yang dikonotasikan sebagai “korban” yang juga menjadi tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (penyalahguna dan pecandu narkotika)  . Penerapan sanksi hukumnya juga harus tepat dengan melihat tujuan dibentuknya undang-undang itu sendiri.

JPU/Oditur Militer sering hanya membuat dakwaan tunggal pasal 111 atau 112, yang kadangkala berbeda dengan fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan yang justru lebih mengarah kepada pasal 127. Sebagai contoh seseorang yang saat tertangkap tangan yang bersangkutan kedapatan barang bukti pemakaian untuk sehari yang relatif kecil di bawah 1 (satu) gram untuk metamphetamin (shabu). Barang bukti yang berada dalam penguasaan Terdakwa menjadikan JPU/Oditur Militer lebih mudah menerapkan pasal 112 (bukan pasal 127). Bagaimana Hakim dalam penjatuhan putusannya ?
Hal ini memberikan pilihan yang sulit bagi Hakim karena harus selalu mendasari kepada dakwaan. Apabila rumusan hukum terpenuhi (unsur memiliki, menyimpan, menguasai dalam pasal 111 atau 112), maka sesuai ketentuan Undang-Undang penjatuhan pidananya harus memperhatikan ketentuan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus. Hal ini sangat dilematis apabila dihadapkan dengan tujuan Undang-undang itu sendiri yang juga bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi pelaku yang dikategorikan sebagai penyalahguna atau pecandu karena harus dijatuhi pidana minimal 4 (empat) tahun . Pada saat tertangkap tangan yang bersangkutan kedapatan Barang bukti pemakaian untuk sehari yang relatif kecil . 
Dari penjabaran di atas, menimbulkan pertayaan yang dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana penjatuhan pidana di bawah stafmaat minimal khusus dalam pasal 111 dan 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?.

C. PEMBAHASAN.

1. Instrumen Hukum Tindak Pidana Narkotika. 

Masalah penyalahgunaan Narkotika dalam kurun dasawarsa terakhir ini sangat mengkhawatirkan, bahkan sejak tahun 2015 pemerintah menetapkan Indonesia dalam keadaan darurat Narkotika. Hal ini dapat dimengerti mengingat angka penyalahgunaan Narkotika semakin meningkat tiap tahunnya. Pada pertengahan Juni 2015 angka pengguna narkotika mencapai 4,2 juta jiwa dan terus meningkat sampai bulan November 2015 mencapai 5,9 juta jiwa . 

Sebenarnya mengenai bahaya narkotika tidak hanya menjadi permasalahan bagi bangsa Indonesia akan tetapi sudah merupakan keprihatinan internasional, oleh karena itu kebijakan penanggulangan narkotika di Indonesia selalu disinergikan dan dintegrasikan dengan kebijakan Internasional. Tentu kita masih ingat bahwa Indonesia pernah mengikuti konvensi tunggal tentang narkotika di New York tahun 1961, yang hasil konvensi tersebut diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika sebagai pengganti Verdoovende Middelen Ordonnatie (Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536) yang merupakan peraturan perundang-undang peninggalan Kolonial Belanda yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan perkembangan jaman .

Instrumen hukum yang dikeluarkan selanjutnya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang ini menghapus pemberlakuan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut . Hal yang perlu dicatat dalam Undang-Undang ini adalah sudah diterapkannya pengaturan tentang minimum pidana khusus seperti dalam ketentuan pidana pasal 78 sampai dengan pasal 83 dan pasal 87 yang pada pokoknya bersifat pemberatan hukumannya yang dapat diterapkan dalam kondisi tertentu semisal perbuatan tersebut diawali dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir atau oleh korporasi. 

Keberadaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 dalam perkembangannya dirasakan belum memenuhi harapan masyarakat, bangsa dan Negara. Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan banyak korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa, sehingga Undang-undang tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

Dalam sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika .

Tindak pidana narkotika yang kecenderungannya terus mengalami peningkatan serta menimbulkan korban yang sangat luas terutama bagi generasi muda harapan bangsa serta untuk pengenaan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika melahirkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Keberadaan Undang-Undang ini sendiri telah mencabut keberadaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan lampiran mengenai jenis psikotropika golongan I dan golongan II dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. 
Penekanan mengenai efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai adanya pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh tahun), pidana penjara seumur hidup maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan jumlah Narkotika . Pasal-pasal mengenai ketentuan ancaman pidana dalam Undang-Undang ini terdapat dalam pasal 111 sampai dengan pasal 148. 
 
2. Minimum pidana khusus dalam pasal 111 dan 112 Undang-Undang Narkotika.  

Narkotika sebenarnya sangat dibutuhkan dalam bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila digunakan dan disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan. Namun demikian masih tetap terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana narkotika baik yang dilakukan secara oleh individu maupun korporasi, padahal instrumen hukum yang mengaturnya sudah sedemikian rupa beratnya.  
Undang-Undang sendiri tidak menguraikan secara jelas mengenai pelaku tindak pidana narkotika, undang-undang hanya menyebutkan tentang penyalahguna narkotika sebagaimana tertuang dalam Bab I Ketentuan Umum angka 15. Dalam Bab tersebut juga disebutkan istilah tentang pecandu narkotika, ketergantungan narkotika.  

Pecandu narkotika adalah orang yang penggunakan atau menyalahgunaan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis .

Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dnegan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas .

Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum . 

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam beberapa pasal telah menerapkan penjatuhan minimum pidana khusus seperti yang terdapat dalam beberapa pasal yaitu pasal 111 s.d. pasal 126, pasal 129, 133, 135 s.d. 137, 139 s.d. 141, 143 s.d 147. Penerapan sistem pidana minimum bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana narkotika. 

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sistem pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu untuk delik-delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifikasir oleh akibatnya (Erfolsqualifizierte delikte) sebagai ukuran kuantitatif yang dapat dijadikan patokan bahwa delik-delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun yang dapat diberi ancaman minimum khusus, karena delik-delik itulah yang digolongkan sangat berat .

Sistem pemidanaan pada tindak pidana narkotika menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana dendanya. Namun dalam pasal tertentu juga menetapkan ancaman pidana maksimum saja seperti yang diatur dalam KUHP (semisal pasal 127, 131, 134 dan 138). Maksimum khusus pidana penjara dalam tindak narkotika yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 tahun. Dalam menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum 15 (lima belas) tahun yakni 20 (dua puluh tahun) diperbolehkan dalam KUHP dalam hal apabila terjadi pengulangan atau perbarengan (karena dapat ditambah sepertiganya) atau tindak pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati semisal dalam pasal 104, 340, 365 ayat 4 KUHP. Dalam tindak pidana narkotika ancaman maxsimum khusus untuk paling lama 20 (dua puluh) tahun tidak harus dengan pengulangan atau perbarengan, tetapi sudah ditentukan dalam pasal tertentu seperti dalam pasal 114. Sedangkan untuk ketentuan pidana minimum umum dalam KUHP adalah 1 (satu) hari . Hal ini berbeda dengan ketentuan pidana minimal khusus dalam Undang-Undang Narkotika yang yang sudah ditentukan dalam bunyi pasalnya seperti pidana minimal khusus selama 4 (tahun) untuk pasal 111 atau pasal 112. 

Bahwa dalam pembahasan kali ini akan menguraikan tentang penerapan sistem pidana minimum dalam pasal 111 dan pasal 112 dikaitkan dengan bagaimana penjatuhan pidana dalam putusan pengadilan. Ketentuan pasal 111 dan 112 menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 111 

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 112

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Bahwa dalam pasal tersebut dapat ketentuan minimum khusus sebagai berikut :
Pasal Pidana penjara dan Denda minimum Pidana penjara dan Denda maxsimum
111 ayat (1)

111 ayat (2) 4 tahun dan 800 juta rupiah
5 tahun dan denda ayat 1 ditambah 1/3 12 tahun dan denda 8 milyar rupiah
seumur hidup atau 20 tahun dan denda ayat 1 ditambah 1/3
112 ayat (1)

112 ayat (2) 4 tahun dan 800 juta rupiah
5 tahun dan denda max ayat 1 ditambah 1/3 max 12 tahun dan 8 milyar rupiah
seumur hidup atau 20 tahun dan denda max (ayat 1) ditambah 1/3
 
3. Penjatuhan Putusan Hakim

Dalam memeriksa dan memutus suatu perkara Hakim selalu mendasarkan kepada dakwaan Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer. Hal ini menegaskan bahwa dakwaan memiliki tempat yang penting karena disamping menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan, juga menjadi dasar bagi hakim dalam memutus perkara yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan hakim terbatas pada apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer. Pasal 182 ayat (4) KUHAP dan pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menegaskan bahwa dalam pelaksanaan musyawarah untuk pengambilan suatu keputusan harus mendasari kepada surat dakwaan. 

Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang .

Musyawarah tersebut pada ayat (1) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang .

Bahwa dalam rumusan hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung yang dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 7 tahun 2012 dalam rumusan bidang Pidana ditegaskan dalam salah satu poinnya bahwa Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tetap berpedoman pada surat dakwaan .

Bahwa seringkali Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer dalam membuat surat dakwaan tidak sesuai dengan fakta persidangan yang muncul, Hal ini menimbulkan dilema bagi Hakim dalam memutus perkara disatu sisi harus memutus berdasarkan dakwaan, akan tetapi fakta persidangan berkata lain.
Bahwa sering kali Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer menghadapkan terdakwa dengan dakwaan tunggal melanggar pasal 111 atau pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman (pasal 111) atau bukan tanaman (pasal 112). Fakta persidangan menunjukkan Terdakwa tersebut menguasai atau memiliki narkotika golongan I baik dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman yang dipergunakan sendiri dan dalam jumlah yang relatif sedikit. Pengertian relatif sedikit tentunya mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 yang pada saat tertangkap tangan menyatakan ukuran pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain untuk ganja seberat 5 (lima) gram atau metamphetamin (shabu) sebesar 1 (satu) gram. 

Lebih jelasnya dapat dilihat dalam rumusan pasal 111 ayat (1) yaitu : “Setiap orang yang hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) .

Dalam ayat (2) menyebutkan : Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) .

Sedangkan rumusan dalam pasal 112 ayat (1) adalah sebagai berikut : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) .”

Dalam ayat (2) menyebutkan : “Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)” .

Akan tetapi pada kenyataannya Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer tetap mendakwa dengan dakwaan tunggal pasal 111 atau pasal 112 saja, dan bukan dakwaan alternatif dengan menambahkan pasal 127 didalamnya. Menghadapi persoalan semacam ini bagaimana tanggapan Majelis Hakim dalam Putusannya?.
Dalam membuat surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer seringkali menggunakan pasal 111 maupun pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk mendakwa pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dengan barang bukti yang ditemukan pada saat penangkapan diperkirakan cukup untuk dipakai sehari (mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010) . 
Dengan menggunakan pasal 111 atau pasal 112 terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut, maka akan mengakibatkan para penyalahguna narkotika tersebut akan dipidana minimal 4 (empat) tahun penjara ditambah dengan denda yang apabila tidak dibayar, maka akan diganti dengan hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti denda yang tidak dapat dibayar .

Formulasi pasal 111 dan 112 yang menggunakan kata-kata “memiliki, menyimpan, menguasai,” yang memungkinkan setiap pelaku penyalahguna narkotika terjerat dengan ketentuan kedua pasal tersebut, apabila JPU/Oditur Militer hanya menerapkan dakwaan tunggal 111 atau 112 saja. Penerapan ketentuan Pasal 127 mengenai dalam keadaan bagaimana dan kriteria seseorang dapat dikatakan sebagai penyalahguna atau pemakai narkotika sebenarnya sering diabaikan JPU/Oditur Militer, sehingga lebih mudah dan praktis bagi Jaksa/Oditur hanya dengan mendakwa dengan dakwaan tunggal saja (pasal 111 atau 112). Hal ini mengakibatkan banyaknya penyimpangan dalam penerapan pasal 127, sehingga orang yang seharusnya dihukum sebagai pemakai malah dikenakan pasal dengan kategori memiliki atau menguasai yang mengakibatkan penjatuhan hukuman yang tidak tepat sasaran dimana seseorang tersebut seharusnya hanya dikenai ancaman maksimal sampai 4 (empat) tahun (dalam pasal 127), akan tetapi malah didakwa dengan pasal 111 atau 112 yang ancaman hukumnya penjara minimal khusus 4 (empat) tahun.
Bahwa dalam putusan dalam tingkat kasasi sering ditemui beberapa perbedaan sikap Hakim Agung terkait hal tersebut. Ada yang menyimpangi dakwaan dengan memutus dengan pasal 127 (yang tidak didakwakan) dan ada juga yang tetap menerapkan penjatuhan putusan mendasari Surat Dakwaan (yang artinya tetap memutus sesuai pasal 111 atau 112), akan tetapi mengenai penjatuhan pidananya di bawah (staafmaat) minimal khusus, bahkan ada yang justru membebaskan Terdakwa.
Mahkamah Agung dalam Putusannya Nomor 2089 K/Pid.Sus/2011 justru dalam kasus seperti ini pernah membebaskan seorang Terdakwa, karena dalam fakta persidangan Terdakwa terbukti merupakan penyalahguna (pasal 127) dan tetapi Terdakwa hanya didakwa dakwaan tunggal pasal 112. Pasal 127 tersebut tidak didakwakan oleh JPU, sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung untuk membebaskan Terdakwa. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan pengadilan negeri yang sebelumnya dikuatkan pengadilan tinggi yang menghukum terdakwa dengan pasal penyalahguna (pasal 127) yang tidak didakwakan Penuntut Umum . 

Namun satu hal yang khusus dalam putusan ini ada salah satu Hakim Agung yang berbeda pendapat (dissenting opinion), dengan salah satu pertimbangannya adalah perbuatan Terdakwa sebelum atau pada saat menghisap shabu-shabu dapat diartikan telah menguasai shabu-shabu tersebut. Tidaklah mungkin Terdakwa dapat menghisap shabu-shabu tersebut walaupun sebentar tanpa menguasai shabu-shabu tersebut terlebih dahulu. Arti menguasai dalam unsur ini harus diartikan secara luas termasuk pada saat ia menghisap, yang kemudian berpendapat Terdakwa tetap dapat dinyatakan terbukti atas pasal yang didakwakan namun dengan hukuman yang jauh dibawah ancaman minimumnya . 
   
Bahwa mengenai hal ini (dakwaan tunggal pasal 111 atau 112 tetapi fakta di persidangan memenuhi rumusan pasal 127 yang tidak didakwakan) telah menjadi salah satu pembahasan permasalahan hukum (questions of law) dalam dalam rapat Pleno Kamar Bidang Pidana pada tanggal 9 s.d 11 Desember 2015 yang diselenggarakan di Hotel Mercure. Dalam rapat pleno dalam salah satu poinnya disepakati apabila Jaksa mendakwa dengan pasal 111 atau 112, namun berdasarkan fakta hukum persidangan terbukti pasal 127 (pasal ini tidak didakwakan), maka Hakim memutus sesuai Surat Dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.

Hasil Rapat Pleno ini kemudian dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Lebih jelasnya dapat kami kutip dalam salah satu rumusan hukum Kamar Pidana dalam poin 1 tentang narkotika yaitu : “Hakim memeriksa dan memutus perkara harus berdasarkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (pasal 183 ayat 3 dan 4 KUHAP). Jaksa mendakwa dengan pasal 111 atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan Terdakwa terbukti pemakai yang jumlahnya relatif kecil (SEMA Nomor 4 tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai Surat Dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup” .

Bahwa pada dasarnya rumusan hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding .

Bahwa rumusan hukum tersebut telah menghilangkan kebimbangan bagi Hakim dalam memutus perkara terutama mengenai dakwaan tunggal pasal 111 atau 112, sedangkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan adalah pasal 127. Yang pada pokoknya sepanjang pada saat tertangkap tangan barang bukti narkotika yang ditemukan untuk pemakaian hari itu relatif kecil (berpedoman pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010), maka dapat diterapkan panjatuhan pidana di bawah stafmaat minimal khusus dengan tetap mendasari pada dakwaan terpenuhinya rumusan unsur pasal 111 atau 112 tersebut. 
 
D. KESIMPULAN 

Bahwa JPU/Oditur Militer memiliki kewenangan dalam membuat surat dakwaan dan dakwaan tersebut menjadi dasar dalam pemeriksaan persidangan. Hakim dalam memeriksa suatu perkara harus selalu berpedoman dalam dakwaan.

Bahwa seringkali JPU/Oditur Militer membuat dakwaan tunggal pasal 111 atau 112, padahal fakta persidangan berkata lain (seharusnya pasal 127). Dalam hal ini akan timbul ketidakadilan, dimana Terdakwa yang semestinya sebagai pemakai, tetapi baginya diterapkan pasal 111 atau 112 yang dari sisi ancaman hukuman lebih berat, apalagi dalam pasal tersebut mengatur mengenai minimum pidana khusus. Dari sisi kepastian hukum pasal 111 atau 112 yang dalam formulasi rumusan unsurnya menggunakan kata “memiliki, menyimpan, menguasai”  bagi seorang pelaku, akan dengan mudah terpenuhi. Seorang yang menyalahgunakan narkotika/pemakai rata-rata “pasti” akan memenuhi unsur memiliki, menyimpan, menguasai” apabila ditemukan barang bukti narkotika pada dirinya. Sesuai SEMA Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 apabila kedapatan saat tertangkap tangan ditemukan pemakaian untuk satu hari dalam relatif kecil, maka dapat dianggap sebagai penyalahguna yang pada dasarnya merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika itu sendiri, bahkan dan dapat memperoleh rehabilitasi medis maupun sosial. Disini akan terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan itu sendiri, karena sudah pasti rumusan pasal tersebut akan terpenuhi yang apabila diterapkan ancaman minimalnya lebih berat dan ini tentu saja menciderai keadilan sebagai tujuan hukum sendiri. Sekarang kita dihadapkan pada satu pilihan, apakah berada di jalur yang aman dengan menjatuhkan pidana sesuai ketentuan pasal 111 atau 112, atau justru menyimpangi ketentuan stafmaat minimal khususnya. Kita harus memilih antara kepastian hukum atau keadilan itu sendiri. Siapa yang memutuskan tentu saja Hakim itu sendiri !

Harifin Andi Tumpa (Ketua Mahkamah Agung periode 2009 s.d 2012) mengatakan hakim bisa menjatuhkan hukuman kepada terdakwa di bawah batas minimal yang telah ditentukan dalam undang-undang. Langkah itu dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. "Apa yang ditentukan undang-undang wajib dilaksanakan. Tapi tentu hakim itu bukan hanya corong dari undang-undang melainkan dia juga harus mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat" . 

Tindakan penjatuhan pidana di bawah stafmaat minimum khusus dalam tindak pidana narkotika pasal 111 dan 112 bukan merupakan suatu pengingkaran terhadap asas nulla poena sine lege (asas legalitas), karena hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan suatu keadilan bagi terdakwa dan masyarakat. Dan apabila terjadi pertentangan antara suatu keadilan dan penegakan hukum, maka rasa keadilan harus lebih diutamakan. Apalagi Mahkamah Agung sudah mengeluarkan rumusan hukum mengenai hal tersebut dalam SEMA Nomor 3 tahun 2015, yang rumusan hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangannya.



DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002. Hlm.128.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika

_______, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika

_______, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer

_______, Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial

SEMA Nomor  7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Rapat Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan 

http://kamparkab.go.id/berita/nasional/jokowi-tak-ada-ampun-untuk-urusan-narkoba.html.  Waktu akses, Senin, 22 Agustus 2016,  08.16 WITA

https://beritagar.id/index.php/artikel/berita/presiden-jokowi-ingin-pengedar-narkoba-ditembak-di-tempat.  
Waktu akses, Senin, 22 Agustus 2016,  08.20 WITA

https://krupukulit.com/2012/10/30/dibebaskannya-penyalahguna-narkotika-akibat-tidak-dimasukkannya-pasal-penyalahguna-dalam-dakwaan/
Waktu akses, Senin, 22 Agustus 2016,  08.22 WITA

http://politik.news.viva.co.id/news/read/99507-hakim-boleh-jatuhkan-vonis-di-bawah-aturan. Waktu akses, Senin, 22 Agustus 2016,  08.30 WITA

0 komentar:

Posting Komentar