Selasa, 14 November 2017

KEPENTINGAN MILITER DALAM PROSES HUKUM PENYALAHGUNA NARKOTIKA

Oleh:
Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.*


Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo dalam kunjungan kenegaraan ke Jerman bulan April lalu menyampaikan dalam sebuah forum resmi bahwa ada sekitar 40 sampai 50 orang meninggal di Indonesia setiap hari akibat penyalahgunaan Narkoba. Jika dihitung dalam rentang waktu satu tahun berarti ada sekitar 18.000 nyawa melayang akibat penyalahgunaan obat-obatan terlarang ini. Korban penyalahgunaan Narkoba berasal dari berbagai kalangan, mulai dari Anggota DPR, Pelajar, mahasiswa dan Pilot. Aparat penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan Petugas Lapas juga banyak yang terlibat. Bahkan Prajurit TNI yang terkenal dengan disiplin dan penegakan hukumnya yang tegas dan keras pun tidak luput dari jangkauan peredaran Narkotika. Angka yang begitu fantastis dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia benar-benar telah berada pada level darurat. Oleh karena itu kita tidak boleh abai dan bertindak seolah-olah korban nyawa 50 orang per hari itu seperti sebuah persoalan biasa.
  
Penyalahgunaan Narkoba terbukti telah merusak masa depan bangsa di Negara manapun. Daya rusaknya luar biasa. Merusak karakter manusia, merusak fisik dan kesehatan masyarakat, serta dalam jangka panjang berpotensi besar mengganggu daya saing dan kemajuan bangsa. Dengan daya rusak seperti itu, kejahatan narkoba ini bisa digolongkan dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan serius (serious crime). Terlebih, peredaran gelap Narkoba bersifat lintas negara (transnational) dan terorganisir (organized) sehingga menjadi ancaman nyata yang membutuhkan penanganan serius dan mendesak.. Penegakan hukum yang tegas, tidak pandang bulu dan berani sangat dibutuhkan saat ini demi untuk membebaskan bangsa Indonesia dari bahaya Narkoba. 
Di internal TNI, dalam rangka mendukung program pemerintah, berbagai upaya-upaya pemberantasan gencar dilakukan. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beberapa waktu lalu telah memerintahkan kepada para Pangkotama dan Komandan Satuan jajaran TNI untuk melakukan pembersihan secara serius di kesatuan masing-masing. Prajurit TNI yang terindikasi terlibat peredaran dan penyalahgunaan Narkoba segera didorong untuk diproses hukum dan apabila terbukti akan  dipecat dari dinas militer. Langkah tegas ini diambil oleh Pimpinan TNI untuk menjaga agar postur TNI yang telah dengan susah payah dibangun dapat dipertahankan sehingga selalu berada pada kondisi prima dengan performa terbaik. Selain itu juga untuk memelihara disiplin dan keutuhan pasukan serta memberikan kepastian hukum dan keadilan.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh TNI terhadap penyalahguna Narkotika saat ini dilakukan secara tegas dengan tetap memperhatikan satu asas yang sangat penting dalam penegakan hukum di lingkungan TNI yaitu asas kepentingan militer. Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer disebutkan bahwa dalam proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum. Artinya bahwa dalam menegakkan hukum, kepentingan militer tidak boleh diabaikan. Kepentingan militer harus seimbang dan sejalan dengan kepentingan hukum. Aparat penegak hukum di lingkungan TNI dalam melakukan proses hukum terhadap penyalahguna narkotika tidak boleh hanya melihat dari kepentingan hukumnya saja, kepentingan militer juga harus betul-betul dipertimbangkan. Hakim Militer yang akan memutus perkara-perkara Narkotika tidak boleh hanya melihat persoalan dari kaca mata undang-undang, mereka juga harus selalu mempertimbangkan kepentingan militer dalam putusannya.

Keinginan Panglima TNI agar Prajurit TNI yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika dipecat dari dinas militer perlu dicermati dan didukung oleh aparat penegak hukum serta diakomodasi dalam putusan pengadilan. Artinya, bila dalam pemeriksaan di Pengadilan, ternyata Prajurit yang didakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika maka hakim harus tegas menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Pemecatan terhadap penyalahguna narkotika sangat beralasan karena dari segi medis, seseorang yang telah mengkonsumsi narkoba tidak siap pakai. Mereka akan mengalami kerusakan jaringan otak, sel-sel saraf dan penurunan daya ingat sehingga kondisi fisiknya tidak prima lagi dan tidak akan mampu melaksanakan tugas pokok secara maksimal. oleh karena itu, penyalahguna dipandang tidak layak lagi untuk dipertahankan dalam kalangan militer sehingga akan lebih bermanfaat bagi TNI bila Prajurit yang bersangkutan dipisahkan dari kesatuannya dengan jalan pemecatan guna menjamin tegaknya hukum dan disiplin, serta terpeliharanya moril satuan agar setiap saat siap digunakan atau dikerahkan melaksanakan tugas Operasi Militer.

Tuntutan untuk memecat Prajurit yang terlibat narkoba seyogianya tidak dimaknai sebagai bentuk intervensi pimpinan TNI terhadap proses peradilan. Ini semata-mata dilakukan untuk menjaga tetap tegaknya asas kepentingan militer dalam  penegakan hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang sendiri. Panglima TNI memiliki kepentingan strategis untuk memperjuangkan asas kepentingan militer dalam proses peradilan agar kepentingan penegakan hukum berjalan seimbang dan seirama dengan kepentingan pertahanan negara. Dengan demikian, aparat penegak hukum harus mampu menempatkan diri dengan baik dalam proses penegakan hukum agar mampu menegakkan hukum dan keadilan tanpa merugikan kepentingan militer. Para penyidik, oditur maupun hakim harus bisa memaknai kepentingan militer dalam penegakan hukum secara proporsional. Jangan sampai kepentingan militer diabaikan dan penegak hukum malahan menjadi penghalang bagi TNI itu sendiri dalam melaksanakan tugasnya. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa kepentingan militerlah yang menjadi pangkal pemikiran mengapa di negara kita dibentuk peradilan militer yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum.

Pidana tambahan pemecatan dari dinas militer terhadap penyalahguna Narkotika sangat diperlukan karena tuntutan kepentingan militer dalam penegakan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun demikian, perlu juga untuk dipertimbangkan mengenai rehabilitasi medis terhadap para pelaku pasca pemecatan. Dari segi hukum, pecandu atau penyalahguna Narkotika adalah pelaku tindak pidana dan juga sekaligus sebagai korban. Disebut pelaku tindak pidana karena menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, setiap penyalahguna Narkotika diancam dengan pidana penjara yang bervariasi mulai dari 1 tahun sampai paling lama 4 tahun, tergantung narkotika golongan berapa yang digunakan. Di sisi lain, dalam kondisi tertentu para penyalahguna ini juga didudukkan dan dipandang sebagai korban peredaran gelap narkotika yang wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dua sisi ini harus menjadi perhatian dalam penegakan hukum di TNI agar tujuan dari pemidanaan dapat tercapai. 

Dalam praktek selama ini, sebagian Prajurit TNI yang dipecat dari dinas militer karena menyalahgunakan narkotika tidak ditindaklanjuti dengan rehabilitasi medis sehingga mereka kembali ke masyarakat masih dalam kondisi tidak normal, belum pulih dari ketergantungan narkotika. Praktek seperti ini tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan jaman sekarang yang lebih bertujuan agar Terdakwa menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Prajurit TNI yang dipecat dari dinas militer dan dibiarkan terjun bebas ke masyarakat dalam kondisi masih ketergantungan narkotika tanpa adanya pengawasan dan pengendalian dari otoritas TNI akan sangat membahayakan karena mereka memiliki keahlian-keahlian khusus yang didapatkan pada saat masih berdinas aktif. Pecatan TNI ini dapat direkrut untuk bergabung dengan para Bandar atau pengedar narkotika dan keahliannya dimanfaatkan untuk mendukung bisnis haram mereka.

Selanjutnya, bertitik tolak dari kerangka pemikiran di atas, kedepannya harus ada semacam rekonstruksi dan penataan kembali proses penegakan hukum di lingkungan Peradilan Militer sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Ada beberapa rekomendasi melalui tulisan ini yang dapat dijadikan saran atau masukan kepada Pimpinan TNI untuk menetapkan satu regulasi dalam penegakan hukum berkaitan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika sebagai berikut;
Pertama, demi menegakkan asas kepentingan militer dalam penegakan hukum, Prajurit TNI yang terbukti sebagai penyalahguna narotika harus dipecat dari dinas militer untuk menjaga tetap tegaknya disiplin, kewibawaan hukum dan kesiapsiagaan satuan namun tindakan pemecatan tersebut harus ditindaklanjuti dengan upaya rehabilitasi medis. Tindakan rehabilitasi ini juga sejalan dengan sejumlah Putusan Mahkamah Agung RI yang memerintahkan rehabilitasi terhadap Prajurit TNI penyalahguna narkotika. Lebih konkritnya, dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer kepada Prajurit yang masih dalam kondisi ketergantungan narkotika, dalam amar putusan juga harus memuat perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa dengan menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dan menetapkan lamanya waktu menjalani rehabilitasi tersebut.

Kedua, untuk menindaklanjuti proses rehabilitasi sebagaimana tertuang dalam rekomendasi pertama, TNI perlu membangun sebuah pusat rehabilitasi medis untuk memulihkan kondisi kesehatan dan kejiwaan Prajurit TNI yang telah dipecat agar pada saat dikembalikan ke masyarakat, mereka telah benar-benar siap dan dapat melanjutkan kehidupan dan pengabdian di luar TNI. Hal ini perlu dilakukan mengingat panti rehabilitasi yang ada saat ini masih sangat kurang sementara kebutuhan rehabilitasi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pembangunan pusat rehabilitasi narkotika TNI ini juga sebagai wujud dukungan terhadap program pemerintah untuk menyukseskan gerakan rehabilitasi masif yang menjadi target nasional. Selain itu, juga untuk menghindari kesan bahwa TNI cuci tangan terhadap Prajuritnya yang terlibat narkotika. Setidaknya, dengan langkah tersebut, ada suatu bentuk tanggung jawab TNI untuk memulihkan kondisi prajurit penyalahguna narkotika dan mengantar mereka melewati fase transisi sebelum dikembalikan ke masyarakat sehingga tidak menjadi beban otoritas sipil.

Ketiga, pemberantasan narkotika di lingkungan TNI harus melibatkan berbagai pihak. TNI harus terbuka dan bisa bekerjasama dengan Kepolisian, BNN dan institusi terkait lainnya karena tidak tertutup kemungkinan Para pelaku kejahatan Narkotika yang berasal dari unsur TNI bekerja sama dengan masyarakat sipil. Dengan adanya sinergitas antar insitusi, akan lebih memudahkan untuk membongkar sindikat peredaran narkotika yang semakin marak terjadi saat ini.

Demikian tulisan singkat ini disusun, diakhiri dengan tiga rekomendasi, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi Pimpinan TNI dalam menentukan kebijakan dan menyusun peraturan terkait dengan pemberantasan tindak pidana narkotika di masa mendatang. Semoga TNI semakin hari semakin bersih dari narkoba dan dapat fokus dalam membela, mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


* Penulis menyelesaikan studi S-1 Hukum pada Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Jakarta  Tahun 2013, saat ini menjabat sebagai Perwira Staf bidang Perundang-Undangan dan Pengolahan Perkara Korem 152/Babullah. 

0 komentar:

Posting Komentar